Bagaimana Seharusnya Kita Mempelajari Sirah Nabi ﷺ ?

Sebagaimana kita ketahui, ketika tampil di pentas sejarah Semenanjung Arab, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam langsung maju ke hadapan khalayak dunia Beliau tandaskan bahwa dirinya adalah nabi yang telah diutus Allah Swt. kepada seluruh umat manusia. Misi yang beliau emban adalah menguatkan kebenaran yang dibawa para nabi sebelumnya. Selain itu, memikulkan tanggung jawab yang sama kepada umat manusia, sebagaimana dibebankan semua nabi terdahulu kepada umat mereka masing-masing. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjelaskan dirinyalah nabi terakhir dalam rangkaian panjang risalah kenabian di sepanjang sejarah manusia. Namun, beliau juga menegaskan bahwa dirinya manusia biasa Peristiwa yang jamak terjadi pada setiap manusia juga berlaku bagi beliau. Bedanya, beliau dipercaya Allah Swt — melalui wahyu—untuk mengemban tugas suci menyampaikan risalah Dengan rsalah itulah manusia mengetahui kebenaran yang hakiki, juga mengingatkan mereka akan status kehidupan dunia di tengah hamparan kerajaan Allah yang tak berbatas. Rasulullah juga bertugas menyampaikan ke mana alur kehidupan manusia setelah meninggalkan dunia Tanpa mengurangi makna kebebasan yang dimiliki, beliau juga terus mengingatkan agar mereka selalu berusaha menjadi hamba Allah yang baik. Dengan berbagai cara, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selalu menegaskan kepada umat manusia bahwa dirinya sama sekali tidak punya kuasa untuk menambah, mengurangi, maupun mengubah kandungan risalah Allah Swt. Bahkan, Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya,

“Seandarnya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka, sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat mengholangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu,” (QS Al-Haqqah [69]. 44-47)

Jadi, Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam . sama sekali tidak pernah tampil di pentas dunia sebagai pemimpin politik, kepala negara, tokoh ideologi, ikon reformasi, dan sebagainya. Bahkan, semua orang tahu, sepanjang hidup Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. tidak pernah berusaha mencapai salah satu dan posisi dan jabatan itu.

Begitulah seharusnya perkara ini didudukkan Seperti itu pulalah logika menuntun kita. Ketika ingin mempelajari pribadi seseorang, seyogianya kita mempelajari seluruh dimensi kehidupan orang tersebut. Sebagai pertanyaan kunci, sosok seperti apa yang ingin ditunjukkan? Sebab hanya dengan itulah kita mengetahui bahwa yang disampaikan itu benar atau tidak.

Tak dapat disangkal, semua ini menuntut kita untuk menelaah segala aspek yang berhubungan dengan orang yang akan kita pelajari, baik sebagai individu maupun masyarakat. Di bawah cahaya pengetahuan, semua upaya itu harus menjadi wahana yang mengarahkan kita pada esensi siapa sebenarnya sosok agung yang tampil di pentas dunia ini?

Memang benar yang mengatakan bahwa kita tidak harus mengerahkan daya pikir seperti yang di inginkan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam .dalam memaknai kenabian dan risalah yang diembannya. Anggapan ini baru dapat diterima jika perkara ini sama sekali tidak berhubungan dengan hidup kita, juga tidak berkaitan dengan kebebasan dan kepribadian kita sebagai manusia.

Ternyata, perkara ini jelas berhubungan langsung dengan eksistensi kita. Dengannya jika semua berjalan dengan benar—kita dapat mengerti kewajiban untuk mengetahuinya. Jika tidak mengejawantahkannya dalam kehidupan, niscaya kita akan tenggelam dalam kesengsaraan dan kehancuran. Alhasil, perkara ini mau tidak mau harus kita ketahui dan sama sekali tidak boleh kita sangkal.

Sungguh amatlah sia sia jika kita meneliti sosok Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam., tetapi kemudian justru lebih disibukkan dengan berbagai gambaran lain tentang pribadi beliau yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita saat ini.

Jauh lebih sia-sia lagi, andaikata saat ini Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. muncul di hadapan kita, lalu bersabda dengan segenap perasaan dan keyakinan yang beliau miliki, “Demi Allah, kelak kalian akan mati seperti kalian tidur. Dan kelak kalian dibangkitkan seperti kalian terbangun dari tidur. Dan demi Allah, kelak kalian akan tinggal di surga selamanya, atau di neraka selamanya.” Namun, ketika mendengar sabda beliau seperti itu, kita sibuk membayangkan tingkat kejeniusan atau keindahan tutur kata beliau saja.

Bukankah melakukan kebodohan itu sama dengan ketika kita tersesat di hutan belantara, lalu berjumpa seseorang yang bersedia menunjukkan jalan keselamatan, tetapi kita sibuk menilai dan mempelajari tampang, pakaian yang dikenakan, atau tutur katanya?

[Fiqih Sirah Bagian 8]

Fiqih Sirah Karya As-Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi

Previous
Next Post »