Kehidupan yang Sejati

Kebanyakan manusia tidak layak dengan akal dan pikirannya untuk menentukan di mana letak kebaikan itu? Inilah kenyataan yang mengharuskan kita menoleh kepada semua ukuran duniawi sebagai ukuran yang tidak layak dibuat menilai baik atau buruknya sesuatu. Allah SWT memberikan penilaian yang tepat tentang masalah ini dalam firman-Nya:

وإن الدار لآخرة لهي الحيوان لو كانوا يعلمون

"(Dan sesungguhnya akhirat itulah sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui).". (Qs Al-Ankabut: 64).

Kehidupan di akhirat merupakan kehidupan yang sejati yang setiap orang harus berusaha mencapainya. Sebab, anda yakin pasti ke sana, dan anda akan hidup di sana selama-lamanya. Usia manusia hidup di dunia ini bisa jadi hanya beberapa saat saja, atau paling lama bisa bertahan beberapa tahun saja, akan tetapi kehidupannya di akhirat adalah kekal abadi. Kenikmatan duniawi bisa hilang dari anda, atau anda yang hilang meninggalkannya karena kematian, sedangkan kenikmatan ukhrawi langgeng sifatnya, tidak akan sirna selama-lamanya.

Apakah pandangan kita kepada dunia meng­gunakan tolok ukur ini? Sedikit sekali orang yang melakukannya. Mayoritas manusia menilai suatu kebaikan dengan tolok ukur duniawi saja, sehingga kebaikan itu menurut pandangan mereka hanya terwujud pada harta kekayaan dan pengaruh duniawi semata, adapun di luar itu tidaklah mereka tengok sama sekali.

Jadi, orang yang diberi keleluasaan rezeki, menganggap bahwa itu merupakan pertanda kere­laan dan kemurahan dari Allah, sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sempit rezekinya berkeyakinan bahwa itu pertanda kemarahan dan penghinaan dari-Nya. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman:

فأما الإنسان إذاما بتلاه ربه فأكرمه ونعمه فيقول ربى أكرمن, وأما إذا ما ابتلاه فقدر عليه رزقه فيقول ربى آهانن,كلا بل لا تكرمون اليتيم, ولا تحاضون على طعام المسكين, وتأكلون التراث أكلا لما, وتحبون المال حبا جما

"(Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: “Tuhanku telah menghinakanku”. Sama sekali ndaklah demikian, bahkan sebenarnya karena kamu tidak menghargai anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan).". (Qs Al-Fajr: 15-20).

Ayat-ayat Al-Qur'an di atas seyogianya kita re­nungkan. Allah meluruskan bagi manusia paradigma tentang baik dan buruk. Paradigma ini telah hilang dari kebanyakan manusia. Allah SWT mengatakan:

فأما الإنسان إذا ما ابتلاه ربه فأكرمه

"(Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya).".

Ini suatu penegasan bahwa kebaikan, kelapangan rezeki dan segala macam bentuk kemewahan duniawi adalah cobaan dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Cobaan itu identik dengan ujian. Ujian itu sendiri pada hakikatnya bukanlah tercela, tetapi hasilnya yang membuat seseorang terhina atau terpuji.

Allah SWT menguji hamba-hambaNya di dunia dengan baik dan buruk, melalui apa yang mereka anggap sebagal suatu kebaikan atau suatu keburukan bagi mereka. Renungkanlah Firman-Nya:

ونبلوكم بالشر والخير فتنة

"{Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan).". (Qs Al-Anbiya: 35).

Kebaikan adalah cobaan bagi manusia sebagai­mana halnya dengan keburukan. Kehidupan dunia seluruhnya penuh dengan cobaan dan ujian bagi manusia. Nabi Sulaiman Alaihis-salam ketika dida­tangkan kepadanya Istana Bilqis sekejap mata oleh seorang hamba saleh, dia tahu bahwa Allah SWT hendak mencobanya dan mengujinya. Di mana letak cobaan dan ujian di sini? Sulaiman Alaihis-salam menyadari bahwa ada orang yang ilmunya mengungguli dirinya, yaitu hamba yang saleh yang sanggup mendatangkan Istana Bilqis kepadanya dalam waktu sekejap mata. Cobaan di sini ialah bahwa Sulaiman mengetahui adanya seorang hamba Allah yang mengunggulinya dalam segi ilmu. Maka dalam kondisi demikian bisa jadi dirinya bersyukur kepada Allah atas peringatan dari-Nya agar ia tidak terpedaya oleh kerajaan dan kekuasaan yang Allah anugerahkan kepadanya, la mengetahui bahwa Allah SWT memberikan apa yang dikehendaki-Nya kepada orang yang dikehendaki Nya, maka janganlah ia terpedaya oleh pemberian-Nya yang merupakan cikal bakal timbulnya kekafiran (semoga Allah melindungi kita semua), dan bisa jadi ia memberontak terhadap fenomena yang dilihatnya dengan memperotes: "Hai Tuhan, bagaimana Engkau telah memberi aku semua kerajaan ini lalu Engkau masih mendatangkan seseorang yang Engkau istimewakannya di atas ku?" Di sinilah timbulnya reaksi yang terukur terhadap cobaan itu, dan di sinilah seseorang bisa jatuh ke dalam kubangan kekafiran. Sulaiman Alaihis-salam menyadari akan cobaan itu. Oleh karena itu ia mengungkapkan isi hatinya sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur'an:

ومن شكر فإنما يشكر لنفسه

"(Barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri).". (Qs An-Naml: 40).

Seseorang yang bersyukur kepada Allah tidaklah akan menambah kejayaan kerajaan-Nya sedikitpun. Ucapan terima kasih, pujian, dan sanjungan yang anda sampaikan  kepada Allah SWT tidak akan penambah keagungan-Nya sedikitpun. Sebab, Allah SWT mutlak kesempurnaan-Nya, tetapi balasan pahala yang baik atas semua itu akan kembali kepada orang yang bersyukur, yang memuji dan yang rnengagungkan-Nya.

Demikian pula halnya dengan kekafiran seseorang, tidaklah akan mempengaruhi keagungan Allah sedikitpun, karena Allah mutlak kesempurnaan dan keagungan-Nya. Kalaulah seluruh makhluk kafir kepada-Nya, tidaklah hal itu akan mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun. Allah SWT tidak butuh kepada seluruh alam. Oleh sebab itu, Allah menyatakan dalam firman-Nya:

ومن كفر فإنا ربى غنيَ كريم

"{Barangsiapa yang kafir, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya (tidak butuh kepada makhluknya) lagi Maha Mulia).". (QsAn-Naml: 40).

Manusia (sering terjerumus ke dalam paradigma keliru, yaitu) ketika dimuliakan Tuhan dan diberi-Nya nikmat, ia mengatakan “Tuhanku memuliakan aku”, dan ketika ia disempitkan rezekinya oleh-Nya (dalam arti hartanya hanya sedikit), ia menggerutu dengan mengatakan “Tuhanku menghinakan aku”. Itulah ukuran baik dan buruk menurut tolok ukur manusia. Kelapangan rezeki dan kelimpahan nikmat dianggapnya sebagai kebaikan, anugerah dan tanda kerelaan Tuhan, sedangkan kesempitan dan kekurangan rezeki dianggapnya sebagai pertanda kemarahan dan penghinaan Tuhan terhadapnya.

Di sinilah Allah meluruskan paradigma keliru pada manusia dengan mengatakan: كلاّ [Sama sekali tidaklah demikian kamu memahami persoalan secara keliru. Banyaknya rezeki dan harta benda bukanlah bukti kerelaan Allah, demikian pula sempitnya rezeki dan harta benda bukanlah pertanda kemarahan Allah, namun keduanya dimaksudkan sebagai cobaan dan ujian bagi manusia, agar supaya kelak di hari kiamat ia menjadi saksi atas dirinya sendiri, apakah ia menyambut keputusan Allah itu dengan kerelaan hati dan syukur? Ataukah menyambutnya dengan keingkaran dan kekafiran?

Selanjutnya Allah SWT menjelaskan hal-hal yang menyebabkan hilangnya kenikmatan dari manusia. Pertama sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur'an adalah karena:

 كلاَ بل لا تكرمون اليتيم

"(Sama sekali tidaklah demikian, bahkan sebenarnya karena kamu tidak menghargai anak yatim).".

Di sini Allah SWT menetapkan pengasuhan anak yatim sebagai penyebab pertama terpeliharanya kenikmatan, sedangkan ketidak pedulian terhadap anak  yatim sebagai penyebab pertama hilangnya penikmatan. Mengapa demikian ? Tujuannya agar terwujud solidaritas di antara masyarakat, sehingga yang kuat tidak memangsa yang lemah. Sudah jelas bahwa anak yatim, yakni anak yang kehilangan ayahnya dalam keadaan masik kecil, kondisinya lemah karena hatinya merana, sedih dan menderita, maka dengan mudah bagi seseorang untuk merampas hartanya dan meremehkan hak-haknya serta berbuat semena-mena terhadapnya karena menganggapnya manusia yang tidak berdaya.

Allah SWT menghendaki agar setiap anggota masyarakat Islam merasa aman dan tenang meme­lihara anak-anaknya baik ketika ia masih hidup atau ketika telah tiada. Oleh sebab itu, Allah SWT menyediakan bagi amal pemeliharaan anak yatim suatu derajat tertinggi di sisi-Nya, sehingga jikalau anda mengusap kepala anak yatim dengan penuh perasaan kasih sayang, niscaya hal itu menjadi kebaikan bagi anda sejumlah hitungan rambutnya, yakni sehelai rambut dinilai satu kebaikan.

Allah SWT ingin mengarahkan pandangan kita pada mulianya pahala mengasuh dan menyayangi anak yatim. Sebaliknya, hukuman pembalasan atas penghinaan anak yatim tidaklah hanya dijatuhkan di akhirat saja, tetapi di dunia pula. Pertama kali ialah hilangnya nikmat dari anda, jika anda sampai tega menghinakan dan berbuat kasar terhadap anak yatim. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman :

أرايت الذىيكذب بالدين,فذالك الذى يدعَ اليتيم

"(Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim).". (Qs Al-Maun: 1-2).

Perlakuan kasar terhadap anak yatim tidaklah mungkin dilakukan oleh orang yang taat beragama, karena perlakuan kasar itu hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang mendustakan agama saja.

[Pelajaran Bagian ke-12]

Kitab Al Khoir wa Syar karya As-Syeikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Previous
Next Post »