Yang salah adalah bahwa engkau tidak merasa cukup terhadap pandangan Allah SWT. Bila saja hatimu telah terpenuhi dengan Allah dan merasa cukup dengan pandangan dan ilmu Allah terhadap amal perbuatanmu, niscaya engkau tidak akan pernah mencari kemuliaan dan kedudukan dalam pandangan manusia.
Beberapa waktu lalu telah dijelaskan, setan masuk ke dalam hati manusia melalui tujuh jalan utama. Dan dua di antaranya telah disebutkan, yakni ash-sharf ‘an al-‘amal (berpaling dari berbuat kebajikan) dan at-taswif (menunda-nunda untuk berbuat kebajikan).
Setelah setan gagal dari jalan masuk yang kedua, yakni penunda-nundaanmu untuk berbuat kebajikan (at-taswif), dan dia pergi meninggalkanmu untuk beberapa saat, dia pun akan kembali masuk ke dalam hatimu melalui pintu yang ketiga, yakni riya’.
Setan akan berkata kepadamu, “Perbuatlah kebajikan ini dan itu, tetapi biarkan manusia melihatmu. Perlihatkan kebajikanmu kepada manusia!”
“Mengapa aku harus memperlihatkan kepada manusia. Ini riya’!”
“Tidak! Bukan riya’. Bila nanti manusia melihat dan mengetahui kebajikan-kebajikanmu, mereka akan lebih memuliakan dan menghormatimu. Setelah itu mereka akan mengikutimu dalam kebajikan. Biarkan mereka melihat dan mengetahui amal-amal kebajikanmu!”
Benar, sungguh baik apabila dia dapat menjadi teladan bagi orang lain dalam kebaikan. Dan sungguh telah banyak orang yang menjadi teladan dalam kebaikan dan benar dalam niat dan amalnya. Namun, setan teramat pandai memperdayamu dalam perkara ini. Dia akan berbisik kepadamu, “Katakan kepada manusia, ‘Aku telah berbuat ini dan itu...’.”
Bukan Ahlinya
Dikisahkan, Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani, salah seorang ulama terkemuka Al-Azhar, didatangi oleh seorang pedagang. Pedagang itu berkata kepada Syaikh Abdul Wahhab, “Wahai Tuanku, aku mendengar engkau menjelaskan ihwal sedekah sirr (sedekah yang tidak diketahui oleh orang lain) dan besarnya pahala bagi orang yang mengerjakan sedekah sirr. Dan aku sudah berniat untuk mengerjakan sedekah sirr. Tolong tunjukkan kepadaku para fakir miskin yang berhak untuk mendapatkan sedekah sirr. Aku akan pergi ke rumah-rumah mereka malam ini.”
Syaikh Abdul Wahhab berkata, “Wahai saudaraku, sungguh aku tidak melihatmu sebagai ahli sedekah sirr.”
“Tuanku. Silakan uji diriku!”
“Apakah benar engkau sanggup?”
“Ya, aku sanggup...”
“Baiklah.... Di Jalan Fulan, Gang Fulan, nomor ini, terdapat rumah yang dihuni oleh keluarga baik-baik. Akan tetapi zaman telah menguji mereka. Mereka teramat membutuhkan bantuan namun tak pernah mereka menunjukkannya kepada orang lain....”
“Baiklah, terima kasih, Tuanku... jazakumullah khairan.”
Malam harinya pedagang itu pun pergi menuju rumah tersebut dengan membawa kantung yang berisi emas.
Setibanya di tempat yang dituju, pintu pun diketuknya dan kantung emas yang telah dibawanya diletakkan di bawah pintu.
Sebelum seorang pun dari dalam rumah mengetahui, sang pedagang pun segera pergi meninggalkan rumah si fakir, agar tidak diketahui oleh pemiliknya.
Hari berikutnya, pedagang tadi datang ke majelis Syaikh Abdul Wahhab. Beberapa saat ia hanya duduk terdiam. Namun dari mimik wajahnya sudah mulai terlihat gelisah untuk berkata-kata. Dengan serta merta ia pun berkata, “Wahai Tuanku...”
“Ya...”
“Aku ingin memberitakan kabar gembira kepadamu. Alhamdulillah, sedekah sirr sudah aku lakukan beberapa hari ini. Dan kelak orang-orang pun akan ikut memberikan perhatian yang besar terhadap sedekah sirr semacam ini kepada umat yang membutuhkan.”
Syaikh Abdul Wahhab hanya tersenyum kecil dan tidak memberikan komentar apa pun. Beliau kembali meneruskan pembicaraan pada topik lain.
Si pedagang kembali berkata, “Tuanku, sungguh telah sampai kepadaku berita betapa besarnya manfaat sedekah sirr di alamat Fulan dan Fulan itu.”
Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani pun menatap ke arah pedagang itu.
Sang pedagang pun berkata kembali, “Tuanku, sungguh aku mengutarakan ini hanya agar bisa ditiru oleh yang lain, karena aku melihat kebanyakan dari hadirin yang duduk di majelis ini adalah para pedagang. Aku berharap agar mereka dapat melakukan sedekah sirr semacam itu malam-malam berikutnya.”
Syaikh Abdul Wahhab pun berkata, “Sungguh aku sudah katakan kepadamu bahwa engkau belum siap untuk melakukan sedekah sirr!”
Jalan masuk yang ketiga adalah riya’. Setan datang kepadamu dan berkata, “Sekarang, bergegaslah menuju kebaikan. Apabila orang lain akan pergi menuju masjid, engkau harus terlebih dahulu datang ke dalam masjid sebelum mereka datang, agar mereka melihatmu.”
Inilah sesungguhnya riya’. Apakah riya’ itu? Riya’ adalah perasaan yang menghendaki agar orang lain melihat amalmu, ada upaya dan kepentingan agar orang lain melihat perbuatanmu, supaya mereka memujimu atas perbuatan itu sehingga kedudukanmu semakin mulia dan tinggi di hadapan mereka.
Apa yang salah dari hal itu?
Yang salah adalah bahwa engkau tidak merasa cukup terhadap pandangan Allah SWT. Bila saja hatimu telah terpenuhi dengan Allah dan merasa cukup dengan pandangan dan ilmu Allah terhadap amal perbuatanmu, niscaya engkau tidak akan pernah mencari kemuliaan dan kedudukan dalam pandangan manusia.
Bila setan datang kepadamu dengan bisikan itu dan engkau katakan “A`udzu billahiminasyyaithanirrajim”, setan pun akan pergi darimu. Akan tetapi setan telah meninggalkan dua masalah, yakni pada nafsumu dan pengaruh yang telah ditiupkannya ke dalam nafsumu. Sehingga keagungan Allah belum sampai kepada batas di mana cukuplah bagimu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui segala gerak-gerik dirimu.
Penyakit ini membutuhkan pengobatan yang serius dan usaha yang sungguh-sungguh. Dan insya Allah pembahasan tentang ini akan dibahas lebih mendetail pada pelajaran tentang perincian-perincian riya’ pada pelajaran-pelajaran mendatang.
Menghadiahkan Bangkai
Keempat, ketergesa-gesaan dalam ketaatan. Setan akan berkata kepadamu, “Ya Allah, cepatlah... selesaikan sekarang juga! Shalatlah dua rakaat... secepat mungkin. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui siapa yang memuji-Nya.... Ingat, sekian rakaat saja dan cepatlah...!!!”
Setan berusaha menganjurkanmu untuk tergesa-gesa dalam melakukan ketaatan sampai engkau kehilangan makna hudhur (hati yang hadir mengingat Allah SWT) bersama Allah SWT. Setan berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan amalmu cacat sebisa mungkin selama engkau masih berbuat kebajikan. Ia berusaha untuk membuatmu berpaling dari kebajikan. Gagal dari itu setan berusaha agar membuatmu menunda-nundanya hingga esok dan seterusnya. Bila gagal, ia akan berusaha agar engkau riya’ dalam berbuat kebajikan. Dan bila masih gagal juga, setan akan berusaha sekuat tenaga agar engkau tergesa-gesa dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Apa yang sesungguhnya setan lakukan? Setan berusaha sebisa mungkin agar ketaatanmu cacat dan tidak bernilai di hadapan Allah SWT. Setan membisikkan kepadamu agar tergesa-gesa dalam melakukan kebajikan.
“Cepatlah!! Selesaikan sesegera mungkin!!”
Berapa banyak engkau membaca Al-Qur’an dalam satu majelis? Pada bulan Ramadhan, misalkan, banyak engkau temukan orang-orang yang membaca Al-Qur’an hanya memperhatikan jumlah halaman yang dibacanya. Satu maqra’ (batasan dalam tata cara membaca Al-Qur’an yang biasaya ditandai dengan huruf ‘Ain), tiga maqra’, satu juz... dan seterusnya hingga sampai ke halaman tertentu, tanpa adanya penghayatan terhadap apa yang dibaca. Tanpa hadirnya hati di saat membaca ayat demi ayat dari Al-Qur’an.
Inilah yang dimaksudkan dengan tergesa-gesa.
Bila engkau memohon perlindungan kepada Allah dengan mengucapkan A‘udzu billahiminasyyaithanirrajim, setan pun akan pergi darimu.
Akan tetapi bagaimana mengobati penyakit ini? Katakan, “Wahai nafsu, sungguh Allah Mahakaya dari membutuhkan ketaatan ini, akan tetapi sungguh aku teramat butuh kepada ridha-Nya kepadaku.”
Sesungguhnya hadirnya hati bersama Allah adalah ruhnya ibadah. Orang yang shalat tanpa hadirnya hati, orang yang mengerjakan ketaatan dengan tergesa-gesa tanpa hadirnya hati mengingat Allah SWT, adalah seumpama seorang hamba menghadiahkan hewan tunggangan kepada sang raja seekor kuda yang teramat elok dan indah tetapi sudah menjadi bangkai. Apakah gunanya hadiah semacam itu? Karena itulah, janganlah engkau haturkan kepada Allah SWT amal-amal ketaatan yang tidak disertai dengan hadirnya hati kepada Allah SWT.