“Baik dan bagus, namun lihatlah orang yang engkau tetapi dari pagi sampai petang, maka (setelah itu) tetapilah dia.”
Pada tiga bahasan yang terakhir, kita telah mengikuti uraian pengarang tentang keteladanan Imam Syafi‘i. Kali ini kita akan mengikuti penjelasan pengarang mengenai para imam lainnya yang juga menjadi panutan kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Marilah kita ikuti uraian berikut ini dari pengarang dan penjelasan lebih lanjut dari pengasuh berdasarkan kitab induk dari kitab yang dibahas, yakni Ihya’ Ulumiddin.
Pengarang mengatakan:
Sesungguhnya Imam Malik rahimahullah menghiasi dirinya dengan kelima pekerti ini. Dan hal yang menunjukkan itu adalah ia pernah ditanya, “Hai Malik, bagaimanakah pendapatmu tentang menuntut ilmu?”
Malik menjawab, “Baik dan bagus, namun lihatlah orang yang engkau tetapi dari pagi sampai petang, maka (setelah itu) tetapilah dia.”
Penjelasan Pengasuh
Yang dimaksud dengan kata-kata “lihatlah orang yang engkau tetapi” di atas adalah lihatlah segala hal yang berkaitan dengan orang tersebut: akhlaqnya, ilmunya, ajarannya, dan lain-lain.
Apabila ingin membacakan suatu hadits, Imam Malik berwudhu, kemudian duduk di bagian depan permadaninya, merapikan jenggotnya, memakai wangi-wangian, dan duduk dengan tenang dan penuh wibawa. Setelah itu barulah beliau membacakan hadits. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW.” Imam Malik juga mengatakan, “Ilmu itu adalah cahaya yang Allah jadikan sekehendak-Nya, dan bukanlah ilmu dengan riwayat yang banyak.”
Penghormatan dan pengagungan yang dilakukannya menunjukkan kekuatan ma’rifahnya dengan kebesaran Allah SWT. Adapun keinginannya yang semata-mata mengharapkan keridhaan Allah dengan ilmu yang digelutinya, di antaranya, ditunjukkan oleh ucapannya, “Berdebat dalam persoalan agama tak ada artinya sama sekali.”
Diriwayatkan, penguasa saat itu, Abu Ja‘far Al-Manshur, mencegahnya dari meriwayatkan hadits tentang talak orang yang dipaksa, kemudian memfitnahnya pada orang-orang yang bertanya kepadanya. Tetapi Imam Malik tetap meriwayatkan kepada orang, hadits yang menyebutkan, “Tidak berlaku talak orang yang dipaksa.” Maka beliau pun dipukul dengan cambuk, namun beliau tetap tidak berhenti, tetap meriwayatkannya.
Beliau juga pernah mengatakan, “Tidaklah seseorang selalu benar dalam ucapannya dan tidak berbohong melainkan diberi kenikmatan dengan akalnya dan tidak akan mengalami pikun meskipun telah sangat tua.”
Selanjutnya pengarang menambahkan:
Asy-Syafi‘i mengatakan, “Aku pernah melihat ia (Imam Malik) ditanya tentang empat puluh masalah. Pada tiga puluh dua di antaranya (di antara yang empat puluh itu), ia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Sedangkan zuhud dan wara‘nya tidak perlu disebutkan lagi ketenarannya.”
Mengenai Imam Abu Hanifah, pengarang mengatakan:
Abu Hanifah pun demikian pula. Diriwayatkan, ia selalu menghidupkan setengah waktu malam, lalu ada seseorang menunjuk kepadanya seraya mengatakan, “Inilah orang yang selalu menghidupkan sepenuh waktu malamnya.” Sejak saat itu Abu Hanifah terus-menerus menghidupkan malam hari sepenuhnya (melakukan qiyamul lail sepanjang malam). Dan ia mengatakan, “Aku merasa malu (kepada Allah) bila digambarkan tidak seperti yang ada pada diriku.”
Penjelasan Pengasuh
Imam Abu Hanifah juga seorang ahli ibadah, selalu zuhud, memiliki ma’rifah kepada Allah, takut kepada-Nya, senantiasa menginginkan keridhaan-Nya dengan ilmunya. Tentang beliau, Ibn Al-Mubarak, tokoh ulama terkenal, mengatakan, “Abu Hanifah seorang yang memiliki muru’ah dan banyak melakukan shalat.”
Al-Hakam bin Hisyam Ats-Tsaqafi mengatakan, “Suatu saat di Syam, penguasa menginginkan agar Abu Hanifah memegang kunci-kunci perbendaharaannya, atau kalau tidak mau beliau akan dipukul punggungnya. Ternyata beliau memilih adzab mereka (penguasa) dibandingkan adzab Allah (jika tak dapat memegang amanah yang diberikan).”
An-Nakha‘i mengatakan, “Abu Hanifah adalah seorang yang banyak diam, senantiasa berpikir, jarang berbicara kepada orang.” Ini merupakan tanda yang paling jelas tentang ilmu bathin yang dimilikinya serta kesibukan dirinya dengan hal-hal yang penting dalam agama.
Pengarang mengakhiri uraiannya tentang para imam ini dengan mengatakan:
Demikian pula dengan Ahmad bin Hanbal dan Sufyan Ats-Tsauri. Kezuhudan dann kewara‘an keduanya tidak perlu disebutkan lagi karena sangat terkenal. Dan dalam pembahasan selanjutnya akan disebutkan hikayat-hikayat yang menunjukkan hal itu. Maka sekarang perhatikanlah orang-orang yang mengakui dirinya mengikuti jejak mereka, benarkah mereka konsisten dengan pengakuannya ataukah tidak.
Penjelasan Pengasuh
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dan Sufyan Ats-Tsauri, pengikut keduanya lebih sedikit dibandingkan pengikut mereka (Imam Syafi‘i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah), dan pengikut Sufyan lebih sedikit lagi dibandingkan pengikut Imam Ahmad. Tetapi ketermasyhuran mereka berdua dalam hal wara‘ dan zuhud sangat jelas.
Kitab Al-Mursyid Al-Amin - Karya Al-Ghazali
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir