Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad

“Baik dan bagus, namun lihatlah orang yang engkau tetapi dari pagi sampai petang, maka (setelah itu) tetapilah dia.”

Pada tiga bahasan yang terakhir, kita telah mengikuti uraian pengarang tentang keteladanan Imam Syafi‘i. Kali ini kita akan mengikuti penjelasan pengarang mengenai para imam lainnya yang juga menjadi panutan kaum mus­limin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Marilah kita ikuti uraian berikut ini dari pengarang dan penjelasan lebih lan­jut dari pengasuh berdasarkan kitab in­duk dari kitab yang dibahas, yakni Ihya’ Ulumiddin.

Pengarang mengatakan:
Sesungguhnya Imam Malik rahi­ma­hul­lah menghiasi dirinya dengan kelima pekerti ini. Dan hal yang menunjukkan itu adalah ia pernah ditanya, “Hai Malik, bagaimanakah pendapatmu tentang me­nuntut ilmu?”

Malik menjawab, “Baik dan bagus, namun lihatlah orang yang engkau tetapi dari pagi sampai petang, maka (setelah itu) tetapilah dia.”

Penjelasan Pengasuh
Yang dimaksud dengan kata-kata “lihatlah orang yang engkau tetapi” di atas adalah lihatlah segala hal yang berkaitan de­ngan orang tersebut: akhlaqnya, ilmu­nya, ajarannya, dan lain-lain.

Apabila ingin membacakan suatu hadits, Imam Malik berwudhu, kemudian duduk di bagian depan permadaninya, merapikan jenggotnya, memakai wangi-wangian, dan duduk dengan tenang dan penuh wibawa. Setelah itu barulah beliau membacakan hadits. Ketika ditanya ten­tang hal itu, beliau menjawab, “Aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW.” Imam Malik juga mengatakan, “Ilmu itu adalah cahaya yang Allah jadikan se­kehendak-Nya, dan bukanlah ilmu de­ngan riwayat yang banyak.”

Penghormatan dan pengagungan yang dilakukannya menunjukkan kekuat­an ma’rifahnya dengan kebesaran Allah SWT. Adapun keinginannya yang se­mata-mata mengharapkan keridhaan Allah dengan ilmu yang digelutinya, di antaranya, ditunjukkan oleh ucapannya, “Berdebat dalam persoalan agama tak ada artinya sama sekali.”

Diriwayatkan, penguasa saat itu, Abu Ja‘far Al-Manshur, mencegahnya dari me­riwayatkan hadits tentang talak orang yang dipaksa, kemudian memfitnahnya pada orang-orang yang bertanya ke­pada­nya. Tetapi Imam Malik tetap meri­wa­yatkan kepada orang, hadits yang me­nyebutkan, “Tidak berlaku talak orang yang dipaksa.” Maka beliau pun dipukul dengan cambuk, namun beliau tetap ti­dak berhenti, tetap meriwayatkannya.

Beliau juga pernah mengatakan, “Ti­dak­lah seseorang selalu benar dalam ucap­annya dan tidak berbohong melain­kan diberi kenikmatan dengan akalnya dan tidak akan mengalami pikun meski­pun telah sangat tua.”

Selanjutnya pengarang menambah­kan:
Asy-Syafi‘i mengatakan, “Aku pernah melihat ia (Imam Malik) ditanya tentang empat puluh masalah. Pada tiga puluh dua di antaranya (di antara yang empat pu­luh itu), ia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Se­dangkan zuhud dan wara‘nya tidak perlu disebutkan lagi ketenarannya.”

Mengenai Imam Abu Hanifah, penga­rang mengatakan:
Abu Hanifah pun demikian pula. Di­riwayatkan, ia selalu menghidupkan se­tengah waktu malam, lalu ada sese­orang menunjuk kepadanya seraya mengata­kan, “Inilah orang yang selalu menghi­dupkan sepenuh waktu malam­nya.” Se­jak saat itu Abu Hanifah terus-menerus menghidupkan malam hari sepenuhnya (melakukan qiyamul lail sepanjang malam). Dan ia mengatakan, “Aku me­rasa malu (kepada Allah) bila digambar­kan tidak seperti yang ada pada diriku.”

Penjelasan Pengasuh
Imam Abu Hanifah juga seorang ahli ibadah, selalu zuhud, memiliki ma’rifah kepada Allah, takut kepada-Nya, senan­tiasa menginginkan keridhaan-Nya de­ngan ilmunya. Tentang beliau, Ibn Al-Mubarak, tokoh ulama terkenal, menga­takan, “Abu Hanifah seorang yang me­miliki muru’ah dan banyak melakukan shalat.”

Al-Hakam bin Hisyam Ats-Tsaqafi me­ngatakan, “Suatu saat di Syam, penguasa menginginkan agar Abu Hani­fah memegang kunci-kunci perbenda­hara­annya, atau kalau tidak mau beliau akan dipukul punggungnya. Ternyata be­liau memilih adzab mereka (pengua­sa) dibandingkan adzab Allah (jika tak da­pat memegang amanah yang diberi­kan).”

An-Nakha‘i mengatakan, “Abu Hani­fah adalah seorang yang banyak diam, senantiasa berpikir, jarang berbicara ke­pada orang.” Ini merupakan tanda yang paling jelas tentang ilmu bathin yang di­milikinya serta kesibukan dirinya dengan hal-hal yang penting dalam agama.

Pengarang mengakhiri uraiannya ten­tang para imam ini dengan menga­takan:
Demikian pula dengan Ahmad bin Han­bal dan Sufyan Ats-Tsauri. Kezu­hud­an dann kewara‘an keduanya tidak perlu disebutkan lagi karena sangat ter­kenal. Dan dalam pembahasan selan­jutnya akan disebutkan hikayat-hikayat yang menunjukkan hal itu. Maka seka­rang perhatikanlah orang-orang yang mengakui dirinya mengikuti jejak mere­ka, benarkah mereka konsisten dengan pengakuannya ataukah tidak.

Penjelasan Pengasuh
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dan Sufyan Ats-Tsauri, pengikut kedua­nya lebih sedikit dibandingkan pengikut mereka (Imam Syafi‘i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah), dan pengikut Suf­yan lebih sedikit lagi dibandingkan pe­ngikut Imam Ahmad. Tetapi ketermasy­huran mereka berdua dalam hal wara‘ dan zuhud sangat jelas.

Kitab Al-Mursyid Al-Amin - Karya Al-Ghazali
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir
Previous
Next Post »