Rutinkan hal ini di sisa-sisa umurmu, dan pendekkan angan-angan dan sungguh-sungguhlah, niscaya engkau mulia.
Tak seorang pun tahu kapan ajal akan menjemputnya. Dan tak semua orang meninggalkan dunia di usia tua. Tak sedikit orang yang di usia muda harus berakhir hidupnya, baik karena sakit maupun karena hal lain, terkadang tak ada sebab-sebab khusus, meninggal sebagaimana orang-orang tua meninggal. Meskipun demikian, sikap dan perilaku kebanyakan kita sehari-hari menunjukkan seolah-olah kita yakin bahwa usia kita akan panjang, bahwa kita akan sampai usia lanjut. Sehingga, di saat belum tua, kita belum terlalu memikirkan akhirat. Ibadah pun sekadarnya, atau bahkan hanya seingatnya saja.
Anggapan dan sikap demikian sangat berbahaya, karena akan membuat kita lalai dan tak merasa perlu untuk segera mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala. Karena itulah, dalam kajian berikut ini, pengarang mengingatkan kita untuk memanfaatkan sisa umur yang ada agar kita mendapatkan kemuliaan di dunia dan yang lebih penting di akhirat kelak.
Pengarang mengatakan:
Rutinkan hal ini di sisa-sisa umurmu, dan pendekkan angan-angan dan sungguh-sungguhlah, niscaya engkau mulia.
Penjelasan Pengasuh
Senantiasakan memelihara waktu-waktu dengan membagi-baginya untuk ibadah-ibadah di sisa-sisa umurmu. Jika terasa berat bagimu melanggengkan kesibukan-kesibukan dengan rutinitas ibadah-ibadah, bersabarlah, seperti sabarnya orang sakit minum obat yang pahit karena mengharapkan kesembuhan. Pikirkanlah usiamu yang pendek meskipun engkau hidup 100 tahun, misalnya, karena lama waktu sekian itu sedikit sekali jika dibandingkan waktu menetapmu di akhirat, yang tiada batasnya.
Jangan panjangkan angan-anganmu bahwa engkau masih akan hidup sebulan lagi, umpamanya, apalagi lebih dari itu, karena akan membuat engkau merasa berat beribadah. Maka andaikanlah bahwa kematianmu sudah dekat. Karena jika engkau memperkirakan bahwa engkau akan hidup setahun lagi, umpamanya, jiwamu tidak akan patuh kepadamu untuk bersabar menjalani ketaatan.
Syaikh Al-Fudhail berkata, “Lima hal tergolong tanda-tanda kemalangan, yaitu keras hati (sulit menerima kebenaran), kebekuan mata (tidak pernah menangis), sedikit malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.” Demikian disebutkan Syaikh Asy-Sya`rani. Dan perangilah nafsumu yang memerintahkan kepada keburukan, dengan membebaninya untuk bersabar dalam menaati Allah hari demi hari.
Dikisahkan, di masa lalu hiduplah seorang raja yang, setiap kali mendapatkan seorang anak laki-laki, anaknya itu setelah besar memakai baju bulu dan meninggalkan istana, berkelana di muka bumi, dan menjalani hidup yang zuhud.
Suatu ketika ia kembali mendapatkan anak laki-laki. Raja segera memanggil para menteri dan pemuka kerajaan. Ia berkata kepada mereka, “Kalian telah tahu kebiasaan anak-anakku. Maka sekarang jika aku meninggal tanpa meninggalkan pengganti, mungkin kalian akan dikuasai seorang raja yang zhalim. Apa saran kalian kepadaku?”
Setelah berbincang-bincang, mereka akhirnya mencapai kata sepakat tentang saran mereka. Mereka mengatakan, “Wahai Raja, siasat untuk itu, Tuan bangun sebuah istana yang megah yang di belakangnya terdapat kebun dan di depannya ada dinding. Jika anak ini telah besar, dapat makan dan minum sendiri, tempatkanlah ia bersama ibunya dan sahabat-sahabatnya di istana itu dan tempatkanlah pula di sana orang-orang yang senang dengan hiburan yang dapat membuatnya senang kepada dunia sehingga ia cenderung kepada dunia dan tidak lari darinya.”
Raja memandang baik saran itu, lalu melakukan apa yang mereka katakan dan juga menempatkan para penjaga yang akan mengawal anaknya, ibu sang anak, dan sahabat-sahabatnya, agar tidak lari dari istana.
Demikianlah sampai anak itu tumbuh dewasa. Pada suatu hari anak muda itu berkata kepada para penjaganya, “Apa yang ada di belakang dinding itu?”
Mereka menjawab, “Orang-orang.”
Ia berkata lagi, “Biarkan aku melihat mereka.”
Para penjaga menjawab, “Tidak bisa, kecuali jika ayahmu mengizinkan.”
Lalu mereka pun meminta izin kepada Raja.
Raja ternyata mengizinkannya.
Ketika anak itu keluar bersama para pembantunya ia melihat seorang yang sangat tua, air liurnya mengalir sampai ke dada, tubuhnya lemah, matanya rabun, punggungnya telah bungkuk, dan lalat mengerumuninya.
Melihat itu anak muda tersebut bertanya kepada para pembantunya, “Apa yang menimpa orang ini?”
Mereka menjawab, “Ia telah memasuki masa tua renta dan menjadi seperti yang Tuan lihat.”
Anak itu kembali bertanya, “Apakah itu keadaan yang khusus untuk dia ataukah menimpa semua orang?”
“Menimpa semua orang,” jawab mereka.
Maka anak muda itu kemudian berkata, “Tak ada kehidupan yang menyenangkan bagi orang yang akhir kehidupannya seperti ini.”
Kemudian para pembantu itu mengabarkan kepada ayahnya apa yang ia katakan.
Sang raja kemudian berkata kepada para pembantunya dan para ahli hiburan yang selalu menyertai anak muda itu, “Keluarkan dari hatinya perasaan demikian.”
Maka mereka pun membuat siasat sampai dapat menghilangkan anggapan demikian dari hati si pemuda dan menenangkannya.
Pada tahun berikutnya ia kembali meminta izin untuk keluar.
Ayahnya kembali mengizinkan.
Maka keluarlah ia. Ternyata ia berjumpa dengan seorang anak muda yang memiliki banyak luka dan nanah di tubuhnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya kurus. Maka bertanyalah anak raja itu kepada para pembantunya, “Kenapa anak muda ini?”
Mereka menjawab, “Ia terkena penyakit.”
Ia bertanya lagi, “Itu keadaan yang khusus dialami dia saja ataukah dialami semua orang?”
Mereka menjawab, “Semua orang yang sakit akan demikian.”
Maka anak muda itu kemudian berkata, “Tak ada kehidupan yang menyenangkan bagi orang yang akhir kehidupannya seperti ini.”
Kemudian para pembantu itu kembali mengabarkan kepada ayahnya apa yang ia katakan.
Sang raja kemudian berkata kepada para pembantunya dan para ahli hiburan yang menyertai anak muda itu, “Keluarkan dari hatinya perasaan demikian.”
Maka mereka pun membuat siasat sampai dapat menghilangkan anggapan demikian dari hati si pemuda dan dapat menenangkannya.
Pada tahun ketiga anak raja itu kembali meminta izin untuk keluar.
Ayahnya kembali mengizinkan.
Maka keluarlah ia. Ternyata ia berjumpa dengan jenazah yang di sekelilingnya terdapat orang-orang yang sedang menangis. Ia pun bertanya, “Apa ini?”
“Mayit,” jawab para pembantunya.
“Mereka akan membawanya ke mana?” tanya pemuda itu lagi.”
Ke kubur,” jawab mereka.
“Apa itu kubur?” tanyanya dengan penasaran.
“Kubur adalah rumah di bawah tanah.”
“Kapan ia akan keluar dari tempat itu?”
“Nanti pada hari Kiamat,” jawab mereka.
Si pemuda kemudian berkata kepada orang-orang yang membawa jenazah itu, “Letakkanlah jenazah itu hingga aku dapat melihatnya dan mengajaknya bicara.”
Mereka pun meletakkannya dan membuka wajahnya. Ternyata mayit itu seorang pemuda yang masih gagah tetapi telah meninggal dunia.
Si pemuda yang anak raja itu berkata kepadanya, “Wahai anak muda, apa yang menimpamu?”
Mayit itu tentu tak menjawab sedikit pun.
Lalu ia bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya, “Mengapa ia tidak berbicara kepadaku?”
“Mayit tak dapat berbicara,” jawab mereka.
“Di mana kuburnya? Bawalah aku ke sana sehingga aku dapat melihatnya.”
Maka mereka pun membawanya ke kubur yang akan ditempati mayit itu.
Ia lalu bertanya, “Ini kuburnya sampai hari Kiamat?”
“Ya, jawab mereka.”
Ia bertanya lagi, “Keadaan ini khusus untuk dia saja ataukah semua orang?”
Mereka menjawab, “Semua orang. Seluruh makhluk akan mati.”
Maka anak muda itu kemudian berkata, “Tak ada kehidupan yang menyenangkan bagi orang yang akhir kehidupannya adalah kematian dan rumahnya adalah kubur seperti ini sampai hari Kiamat.”
Kemudian ia pun turun dari kendaraannya, pergi berlalu meninggalkan kehidupan dunia dan menuju kepada Allah dan negeri akhirat.
Kitab Hidayah Al-Adzkiya’ - Karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir