Menjauhi Dunia

“Siksaan bagi ulama adalah kematian hati, dan kematian hati itu ada­lah mencari keduniawian dengan peker­ja­an akhirat.” Sedangkan Umar bin Khaththab mengatakan, “Apabila eng­kau melihat seorang alim yang mencintai keduniawian, waspadailah bahayanya terhadap agamamu, karena sesungguh­nya setiap orang yang mencintai sesuatu selalu menyelami apa yang dicintainya.”

Salah satu ujian orang yang berilmu adalah ingin menikmati kelezatan dunia dengan ilmunya. Terkadang tujuan seseorang ingin menunjukkan suatu pe­mahaman atau ingin memberikan petun­juk dan bimbingan kepada orang lain ada­lah bukan karena Allah, melain­kan karena merasakan kenikmatan dari per­buatan itu. Lebih dari itu, terkadang ia me­lakukannya karena ingin menunjuk­kan kepada orang lain bahwa ia seorang yang berilmu. Itu harus dihindari oleh para ahli ilmu jika menginginkan keridha­an Allah Ta‘ala.

Hal lain yang juga penting untuk di­perhatikan adalah bagaimana seharus­nya hubungan ulama dengan umara itu. Marilah kita perhatikan penjelasan-pen­jelasan pengarang tentang hal itu, dan keterangan lebih lanjut yang terdapat dalam kitab intinya, yakni kitab Ihya’ Ulumiddin.

Pengarang mengatakan:
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan, “Siksaan bagi ulama adalah kematian hati, dan kematian hati itu ada­lah mencari keduniawian dengan peker­ja­an akhirat.” Sedangkan Umar bin Khaththab mengatakan, “Apabila eng­kau melihat seorang alim yang mencintai keduniawian, waspadailah bahayanya terhadap agamamu, karena sesungguh­nya setiap orang yang mencintai sesuatu selalu menyelami apa yang dicintainya.”

Penjelasan Pengasuh
Banyak lagi perkataan para tokoh tentang hal tersebut. Di antaranya, Yahya bin Mu‘adz mengatakan, “Sesungguh­nya kebaikan ilmu dan hikmah hilang apa­bila keduanya digunakan untuk men­cari dunia.” Sedangkan Sa‘id bin Al-Musayyab berkata, “Apabila engkau me­lihat seorang alim mendatangi para penguasa, ia seorang pencuri.”

Kemudian pengarang melanjutkan:
Yahya bin Mu‘adz Ar-Razi pernah mengatakan kepada ulama ahli dunia, “Hai para pemilik ilmu, istana-istana kalian adalah istana kekaisaran, rumah-rumah kalian adalah rumah kisra, pakaian-pakai­an kalian adalah pakaian lahiriah, sepatu-sepatu kalian adalah se­patu Jalut, ken­daraan-kendaraan kalian adalah kenda­raan Qarun, perabotan-perabotan kalian adalah perabotan Fir’aun, tempat per­kum­pulan kalian ada­lah tempat perkum­pulan Jahiliyyah, dan madzhab-madzhab kalian adalah madz­hab setan, maka di mana­kah syari’at Mu­hammad?” Ia kemu­dian berkata, “Peng­gembala kambing selalu menjaga kam­bingnya dari serang­an serigala. Maka bagaimana jadinya bila penggembalanya adalah serigala?”

Dan dikatakan orang, “Hai para pembaca (pengajar), wahai keindahan negeri, tak akan baik keindahan itu apabila ia telah rusak.”

Penjelasan Pengasuh
Bisyr bin Al-Harts memendam belas­an kitab di antara tempat penyimpanan air dan kotak bambu (tempat kurma) dan ia mengatakan, “Aku mempunyai nafsu untuk berbicara. Jika nafsu itu telah per­gi, barulah aku berbicara.” Ia juga ber­kata, “Jika engkau bernafsu untuk berbi­cara, diamlah. Jika engkau tidak bernaf­su, berbicaralah.”

Demikianlah, menikmati pangkat pem­beritahuan (memberitahukan orang lain ihwal sesuatu) dan derajat memberi petunjuk adalah selezat-lezat kenikmat­an dunia. Maka barang siapa menuruti naf­sunya dalam hal itu, ia termasuk anak-anak dunia. Karena itulah Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Ujian perkata­an itu lebih berat daripada ujian istri, har­ta, dan anak. Bagaimana engkau tidak takut terhadap ujiannya padahal telah dikatakan kepada pemimpin para rasul, Rasulullah SAW, dalam ayat yang arti­nya, “Seandainya kami tidak meneguh­kan­mu, sungguh kamu hampir condong kepada mereka.” (QS Al-Isra’: 74).

Sahl rahimahullah mengatakan, “Ilmu itu seluruhnya adalah dunia. Akhi­rat­nya ilmu adalah pengamalannya. Se­dangkan amal seluruhnya beterbangan (lenyap) kecuali amal yang ikhlas.”

Pengarang lalu mengingatkan hal lain yang penting pula diperhatikan oleh para ahli ilmu. Ia mengatakan:

Dan ketahuilah bahwa hal yang pan­tas bagi seorang alim yang berpegang teguh pada agamanya adalah hendak­nya makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dan segala yang berkaitan dengan penghidupannya di dunia dipe­nuhi dengan kesederhanaan. Artinya, ia tidak cenderung kepada kemewahan dan bersenang-senang, dan tidaklah ia berlebihan dalam sisi kemewahan dan bersenang-senang jika ia tidak ber­lebih­an dalam sisi zuhud terhadapnya.

Pengarang mengakhiri bahasannya dengan mengatakan:
Dan hendaknya ia selalu menghin­darkan diri dari menemui para sultan (penguasa) dan orang-orang yang me­miliki keduniawian (para hartawan) de­ngan semampu-mampunya untuk meng­hindari fitnah.

Penjelasan Pengasuh
Di antara yang harus dilakukan oleh ahli ilmu adalah menjauhkan diri dari para penguasa atau pejabat. Maka ja­nganlah ia masuk sama sekali ke tempat mereka selama masih ada jalan untuk meng­hindar. Dan ia harus menjaga diri dari pengaruh mereka sekalipun mereka men­datanginya. Karena sesungguhnya dunia itu suatu yang manis dan hijau (sangat me­mikat) dan kendalinya berada di ta­ngan para penguasa.

Kitab Al-Mursyid Al-Amin - Karya Al-Ghazali
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir
Previous
Next Post »