Tak ada kenikmatan yang paling dirindukan seorang mukmin di surga kelak melebihi kenikmatan melihat Dzat Allah Ta‘ala. Sedangkan di dunia, yang paling diharapkan adalah menyaksikan-Nya, dalam arti benar-benar merasakan kehadiran-Nya meskipun tidak melihat-Nya secara langsung.
Dalam penjelasan terakhir dari kitabnya ini, pengarang menjelaskan hal tersebut dan menyebutkan pula amaliah apa yang harus dilakukan untuk mencapainya. Marilah kita perhatikan penjelasan pengarang yang sangat penting dan keterangan yang lebih terperinci dari pensyarah.
Pengarang mengatakan:
Berkata Imam As-Suhrawardi yang disucikan
Tujuan paling puncak adalah musyahadah yang sangat tinggi
Maka hendaknya seorang hamba memperbanyak membaca Al-Qur’an
Memperbanyak dzikir dengan kalimat-kalimat yang baik, lagi melepaskan diri dari segalanya
Dan hendaknya ia bersungguh-sungguh menyelaraskan hati dengan ucapannya
sehingga ia menjadi kukuh dengan hatinya
dan menghilangkan bisikan-bisikan hati,
agar dapat menerangi hati yang dapat meraih keadaan-keadaan yang terpuji
Dan cahaya hati melimpah kepada wadah hati
maka hal ini diperoleh dengan melakukan berbagai perbuatan baik
Dan dzikirnya benar-benar dzikir mengingat Dzat-Nya
Hasilkanlah penyaksian yang mulia ini
Penjelasan Pengasuh
Imam As-Suhrawardi adalah Umar bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad. Ia termasuk keturunan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Allah telah menancapkan ilmu laduniy ke dalam hatinya setelah ia diusap oleh Tuanku Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan tangannya.
“Semua bait ini aku (Syaikh Nawawi Al-Bantani) kutip dari ucapan Imam As-Suhrawardi dalam kitab Awarif al-Ma`arif di bab ke-27. Aku mengutipnya dari permulaan ucapannya di sini agar dapat menjadi penjelasan dari ucapan pengarang (Syaikh Zainuddin bin Ali).”
Ucapan Syaikh As-Suhrawardi tersebut adalah, “Dari Abdullah bin `Amr bin Ash RA, ia (Syaikh As-Suhrawardi) berkata, “Tertulis di dalam kitab Taurat ayat (yang artinya), ‘Wahai Nabi, sesungguhnya Aku mengutusmu sebagai saksi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagai pemelihara bagi orang-orang beriman dan sebagai penyimpan bagi orang-orang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan utusan-Ku. Aku menamaimu orang yang bertawakal, yang tidak kasar tutur katanya, tidak kejam, dan tidak berteriak-teriak di pasar-pasar. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi mengampuni dan memaafkan. Aku tidak akan mencabut nyawanya hingga ajaran yang bengkok bisa tegak olehnya, dengan mereka semua mengucapkan Lâ ilâha illallâh (Tiada Tuhan selain Allah). Membuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, dan hati-hati yang terbungkus (tertutup).
Maka seorang hamba hendaknya di dalam khalwat-nya (menyendiri bersama Allah) tidak henti-hentinya selalu mengulang-ulang kalimat tauhid ini dengan lisannya disertai dengan hati, sehingga kalimat tauhid menjadi mengakar di dalam hati, menghilangkan bisikan-bisikan nafsu, karena kalimat tauhid itu akan menerangi hati menggantikan bisikan-bisikan nafsu itu.
Lalu apabila kalimat tauhid itu telah menguasainya dan lisannya mudah menuturkannya, niscaya hati akan menyerapnya, sehingga, jika lidah terdiam, hatinya tidak akan diam, yakni tetap mengingatnya. Kemudian ia akan bersinar terang di dalam hati, dan dengan terangnya itu cahaya keyakinan bersemayam di dalam hati, sehingga, apabila gambaran kalimat tauhid itu sedang tak ada dalam ucapan dan hati, cahayanya akan tetap terang benderang.
Dan hendaknya dzikir itu bersatu dengan memperhatikan keagungan Dzat yang didzikirkan, yaitu Allah SWT, dan dzikirnya ketika itu adalah Dzikr adz-Dzat (mengingat Dzat Allah SWT). Dengan Dzikr adz-Dzat, semakin terang cahaya dzikir. Inilah yang menjadi tujuan puncak berkhalwat disertai berdzikir.
Ini tidak hanya dapat diperoleh dengan berdzikir kalimat tauhid, melainkan juga dengan membaca Al-Qur’an apabila ia sering membacanya dan bersungguh-sungguh dalam menyelaraskan hati dengan lisan sehingga bacaan Al-Qur’annya mengalir pada lidahnya dan makna kalam Allah SWT menggantikan kedudukan bisikan nafsu, sehingga muncul kemudahan dalam membaca Al-Qur’an dan shalat. Bathin menjadi terang dengan kemudahan-kemudahan dalam pembacaan Al-Qur’an dan shalat itu. Dan semakin terang benderang cahaya kalam Allah di hati. Keadaan dzikir semacam itu pun termasuk kategori Dzikr adz-Adzat. Cahaya kalam Allah SWT di dalam hati menyatu dengan perenungan akan keagunan Dzat yang berfirman, yaitu Allah Ta‘ala.
Di balik pemberian ini terdapat sesuatu yang Allah bukakan kepada seorang hamba berupa ilmu-ilmu ilhami laduniy (langsung dari Allah SWT). Dan ketika seseorang sampai pada pencapaian ini apabila bathinnya telah jernih, terkadang ia menghilang (tenggelam dalam keagungan-Nya) dalam berdzikir, karena kenikmatan dan kemanisan berdzikir yang dirasakannya, sehingga keadaannya seperti orang tidur yang tidak memiliki kesadaran dirinya.”
Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani berkata, “Berdzikir kepada Allah Ta‘ala yang sesunguhnya adalah disertai penyaksian hamba bahwa dirinya berada di hadapan Tuhannya, Yang Mahatinggi. Berdzikir dengan lisan hanyalah sebagai perantara menuju kepada-Nya. Maka apabila penyaksian semacam itu telah diperolehnya, ia tidak butuh dzikir lisan. Maka ia tidak akan berdzikir dengan lisan, kecuali di tempat yang dzkirnya akan diikuti di tempat itu, tidak di tempat yang lain. Sebab, dzikir kedudukannya sebagai petunjuk. Maka apabila telah tercapai kesatuan dengan madlul (sesuatu yang ditunjukkan), seorang hamba tidak butuh lagi kepada dalil. Maka ketahuilah hal itu, karena merupakan perkara yang penting.”
Wassalam