Dzikir Tahlil, Dzikir Paling Utama

Di antara semua dzikir, ucapan La ilaha illallah adalah dzikir yang paling utama. Bahasan kita kali ini berbicara tentang dzikir ini. Kita akan menyimak perkataan pengarang tentang masalah tersebut dan penjelasan yang terperinci dari pen­syarah, termasuk cara dan adab dalam berdzikir.

Pengarang mengatakan:
Atau dzikir tahlil dan ia gunakan dzikir yang samar. Tanpa menggerakkan bibir

Penjelasan Pengasuh
Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang pa­ling utama adalah ucapan La ilaha illalah.” (HR Al-Hakim). Yakni, karena kalimat tah­lil (ucapan La ilaha illallah) itu merupakan ucapan tauhid (penegasan terhadap ke­esaan Allah SWT), sedang­kan tauhid itu tidak dapat disamai oleh sesuatu pun. Juga karena tahlil mempu­nyai pengaruh dalam menyucikan ba­thin, karena ia me­nunjukkan ketiadaan tuhan-tuhan yang lain dengan ucapan La ilaha (tiada Tuhan) dan menetapkan kemahaesaan hanya bagi Allah Ta`ala dengan ucapan illallah (ke­cuali Allah). Hendaknya mengulang-ulang dzikir (tahlil) itu mulai dari lahiriah lidahnya sam­pai bathiniah hatinya. Demi­kian ke­terangan dari Syaikh Al-Azizi.

Nabi SAW bersabda, “Dzikir yang pa­ling baik adalah yang samar, dan iba­dah yang terbaik adalah ibadah yang pa­ling ringan.” (HR Al-Qudha`i dari Utsman bin Affan). Sesungguhnya yang paling ringan itu adalah ibadah terbaik karena mudah merutinkannya dan karena hal itu dapat menggiatkan (menyemangat­kan) jiwa. Dzikir yang samar itu artinya yang disem­bunyikan oleh pelakunya dari orang lain. Dengan kata lain berdzikir secara per­lahan sehingga tidak terde­ngar orang lain.

Namun di dalam hadits-hadits lain terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa dzikir dengan suara keras itu lebih utama. Demikian yang diterangkan oleh Syaikh Al-Azizi. Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya‘rani berkata, “Para ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, telah bersepakat mengenai sunnah berdzikir kepada Allah Ta‘ala se­cara berjama’ah di masjid-masjid dan tempat-tempat lain­nya, tanpa ada yang mengingkari, dengan syarat aman dari riya’ dan tidak meng­ganggu, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, misalnya.

Imam Al-Ghazali menyerupakan dzikir seseorang sendirian dan dzikir berja­ma’ah dengan adzan orang yang shalat sendirian dan adzan orang yang shalat ber­jama’ah. Karena suara-suara para muadzin shalat berjama’ah dapat me­mu­tus hawa nafsu lebih keras dari­pada suara orang yang adzan shalat sen­dirian. Begitu pun dzikir berjama’ah atas hati seseorang itu lebih banyak pengaruhnya dalam meng­angkat hijab (penutup terhadap ke­agungan Allah) karena Allah menyerupa­kan hati dengan batu, dan telah dimaklumi bah­wa batu tidak akan pecah kecuali de­ngan kekuat­an sekelompok orang yang bergabung, pada hati seseorang, karena ke­kuatan jama’ah itu lebih dahsyat dari­pada ke­kuatan satu orang saja.”

Syaikh Ibrahim Al-Mathbuli berkata, “Keraskan suara-suara kalian dalam ber­dzikir sampai berhasil (tedengar) dzikir itu kepada kalian semuanya seperti orang-orang ahli ma`rifat.”

Kemudian pensyarah (Syaikh Na­wawi Al-Bantani) mengatakan, “Para syaikh berkata: Diwajibkan bagi seorang murid ketika baru mulai membiasakan berdzikir untuk mengeraskan suaranya dalam ber­dzikir di tempat jama’ah hingga hijabnya terkuak. Kemudian apabila ia telah kukuh dalam dzikir dan merasa nyaman ber­sama Allah Ta`ala, bukan ke­pada makh­luk, di saat ini tiada satu pun makh­luk yang layak diperhatikan olehnya, maka ia tidak perlu mengeraskan suara.”

Syaikh Abdul Wahhab berkata, “Sela­yaknya mengeraskan suara itu dengan ke­lembutan, karena, apabila tanpa kelem­butan, kerapkali lubang di bathinnya akan bertambah besar (menganga), maka dzi­kir dengan suara kerasnya itu menjadi sia-sia (tidak berpengaruh apa-apa).”

Jika tidak mendapati guru untuk mem­bimbing, hendaklah memper­banyak dzikir ke­pada Allah Ta‘ala de­ngan lafazh “Allah”, hingga Allah Ta‘ala menjadi yang disaksikan olehnya dan di saat itulah bisa terbuka hijab, sebagai­mana keterangan Syaikh Sya‘rani. Meng­utip sejumlah ula­ma ia mengatakan, “Wa­jib bagi seorang syaikh memerintahkan muridnya untuk berdzikir kepada Allah Ta‘ala dengan lisan­nya dengan kuat dan mantap.”

Apabila hal itu telah kukuh, Syaikh me­merintahkan muridnya untuk me­nyeim­bangkan dzikir antara lisan dan hatinya, seraya Syaikh berkata ke­pada muridnya: Tetapkan olehmu me­lang­gengkan dzikir semacam ini, seakan-akan engkau ada di hadapan Tuhan­mu, dengan hatimu selamanya. Dan ja­ngan tinggalkan dzikir ini hingga eng­kau ber­hasil mendapatkan satu kon­disi darinya dan anggota tubuhmu selu­ruh­nya men­jadi berdzikir, tidak lalai dari Allah Ta‘la.

Dalam berdzikir, keadaannya seda­pat mungkin suci dari hadats dan kotoran, dan menghadap kiblat jika berdzikir sen­dirian. Dan jika tidak sendirian, jama’ah duduk melingkar dan mengosongkan hati­nya dari segala sesuatu selain Allah, hingga tidak menuntut keduniaan, ke­akhi­ratan, ganjaran, maupun kenaikan ting­katan. Ia berdzikir kepada Allah se­mata-mata karena rasa cinta kepada-Nya. Dan hendaknya ia menutup kedua mata­nya, karena hal itu lebih memper­cepat menerangi hati, dan hendaknya tem­pat ia berdzikir dalam keadaan gelap. Maka seandainya di sana terdapat pelita, hendaknya ia padamkan jika tempat itu khusus untuk pribadinya.

Di saat berdzikir, hendaknya mem­bersihkan hati seraya menghadirkan mak­na yang didzikirkan, hingga seakan-akan hatinya adalah pelaku dzikir­nya se­dangkan ia mendengarkannya.

Kitab Hidayah Al-Adzkiya’ - Karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir
Previous
Next Post »