Al-Ghazali telah meringkas Ihya’ Ulumiddin sedemikian rupa sehingga Al-Mursyid Al-Amin bukan sekadar kitab ringkasan biasa, tetapi menjadi sebuah intisari yang benar-benar mewakili kitab induknya.
Pada bagian yang lalu telah disebutkan bahwa setelah berakhirnya pembahasan kitab Hidayah Al-Adzkiya’, karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari (lihat.. Kitab Hidayah Al-Adzkiya’ - Penutup), kita akan mengkaji kitab yang baru, yakni Al-Mursyid Al-Amin, yang merupakan ringkasan kitab Ihya’ Ulumiddin. Keduanya, yakni kitab Al-Ihya’ maupun ringkasannya itu, adalah karya ulama termasyhur, Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, yang biasa kita sebut “Al-Ghazali” saja.
Namun sebelum kita mulai memasuki pembahasan materi demi materi yang terkandung dalam kitab tersebut, ada baiknya kita mengenal sekilas kitab yang akan kita kaji ini dan juga kitab induknya, serta beberapa hal yang berkaitan dengannya. Ini penting untuk kita ketahui, sebagaimana kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Dengan mengenalnya, insya Allah kita akan lebih mencintainya dan juga mencintai pengarangnya, juga semakin menghargainya, dan bertambah keinginan untuk mengetahui isinya dan mengamalkannya.
Kitab Al-Mursyid Al-Amin dicetak oleh berbagai penerbit dengan dua nama: Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin dan Al-Mursyid Al-Amin ila Maw‘izhah Al-Mu’minin min Ihya’ Ulumiddin. Jadi, dua judul itu merujuk kepada kitab yang sama.
Pertama-tama harus kita ketahui, ini bukanlah satu-satunya ringkasan kitab Ihya’ Ulumiddin. Bahkan, jika kita perhatikan, apa yang disebutkan dalam syarah kitab Ihya’ Ulumiddin yang sangat terkenal, yakni Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin, karya Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Az-Zubaidi, dapat dipahami bahwa Al-Mursyid Al-Amin bukanlah ringkasan kitab Al-Ihya’ yang pertama. Karena, dalam kitab Al-Ithaf itu disebutkan bahwa yang pertama-tama meringkasnya adalah saudara Imam Al-Ghazali sendiri, yakni Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali, yang wafat di Qazwain tahun 530 H/1136 M. Ringkasan itu ia namakan Lubab Al-Ihya’.
Kemudian tokoh-tokoh lain pun membuat ringkasan Al-Ihya’ pula. Di antaranya Ahmad bin Musa Al-Mushili (wafat 632 H/1235 M), kemudian Muhammad bin Sa‘id Al-Yamani, Yahya bin Abu Al-Khair Al-Yamani, lalu Abdul Wahhab bin Ali Al-Khathib Al-Maraghi, yang juga menamai ringkasannya dengan Lubab Al-Ihya’, sama namanya dengan ringkasan yang dibuat saudara Al-Ghazali. Nama tokoh ulama lain yang juga membuat ringkasan Al-Ihya’ adalah Muhammad bin Ali bin Ja‘far Al-‘Ajaluni, yang terkenal dengan sebutan “Al-Balali”.
Sekilas kita pun perlu mengenal beberapa sisi dari kehidupan penyusunnya, Al-Imam Al-Ghazali, meskipun ia telah sangat termasyhur. Keutamaan Al-Imam Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naisaburi Asy-Syafi‘i Al-Asy‘ari tersebar di seluruh dunia Islam. Keindahan dan keelokan karya-karyanya sangat dikenal. Penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu, baik ilmu-ilmu ushul maupun furu’, tak diragukan. Allah pun menganugerahinya karamah, istiqamah, dan zuhud dalam kehidupan dunia.
Al-Hafizh Al-Allamah Ibnu ‘Asakir, Syaikh Afifuddin Abdullah bin As‘ad Al-Yafi‘i, dan Al-Faqih Jamaluddin Abdurrahim Al-Asnawi mengatakan, Al-Imam Al-Ghazali lahir di Thus tahun 450 H, bertepatan dengan 1058 M. Pertama-tama ia belajar fiqih di kota kelahirannya ini, kemudian ia mendatangi Naisabur dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya yang paling terkenal, Al-Imam Al-Haramain.
Ia sangat bersungguh-sungguh sehingga dapat menyelesaikan pelajaran dalam waktu singkat. Kemudian ia menjadi orang yang sangat cerdas dan tak ada bandingnya di antara kawan-kawannya. Mulailah ia membacakan pelajaran-pelajaran di majelis-majelis gurunya, bahkan juga membimbing murid-murid dan mengarang kitab di masa gurunya masih hidup.
Mengenai kitab Al-Ihya’ itu sendiri, tak terhitung banyaknya tokoh ulama yang memberikan pujian terhadap kelebihan-kelebihannya. Al-Hafizh Al-Imam Al-Faqih Abu Al-Fadhl Al-‘Iraqi memuji kitab ini dengan mengatakan, “Ia (kitab Al-Ihya’) termasuk yang paling agung di antara kitab-kitab Islam tentang mengenal hal-hal yang halal dan yang haram.”
Sedangkan kandungan Al-Ihya’ itu sendiri terdiri dari empat bagian: rub‘ul-ibadat (seperempat bagian tentang ibadah), rub‘ul-‘adat (seperempat bagian tentang tradisi/kebiasaan dalam kehidupan), rub‘ul-muhlikat (seperempat bagian tentang hal-hal yang membinasakan), dan rub‘ul-munjiyat (seperempat bagian tentang hal-hal yang menyelamatkan).
Adapun kitab Al-Mursyid Al-Amin, yang menjadi ringkasannya, yang akan kita bahas mulai edisi mendatang, terdiri dari 40 bab. Diawali dengan bab tentang ilmu dan belajar, dan diakhiri dengan bab tentang mengingat mati. Masing-masing bab terbagi lagi ke dalam pasal-pasal: ada yang sedikit, hanya satu atau dua pasal, namun ada juga yang banyak, sampai sembilan pasal.
Masing-masing pembahasan disampaikan dengan bahasa yang menarik, tidak berbelit-belit, tidak sulit dipahami.
Sebagai penyusun kitab induknya sendiri, yang jelas lebih mengetahui kitab itu dibandingkan orang lain, tentu Al-Ghazali paling mengetahui bagian-bagian mana yang perlu ditekankan, bagian mana yang dapat dihilangkan, dan bagian mana yang tetap harus dipertahankan. Ia telah meringkasnya sedemikian rupa sehingga Al-Mursyid Al-Amin bukan sekadar kitab ringkasan biasa, tetapi menjadi sebuah intisari yang benar-benar mewakili kitab induknya. Dengan demikian, kitab ini dapat menjadi anak tangga yang terbaik sebelum mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin itu sendiri.
Adapun kitab Al-Mursyid Al-Amin yang kami jadikan pegangan dalam kajian kita ini adalah yang diterbitkan oleh Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, penerbit kitab-kitab Islam yang dikenal sangat teliti dan rapi dalam menata sistematika kitab maupun dalam materinya. Sengaja kami menggunakan kitab terbitan penerbit ini, karena terdapat banyak kelebihan yang sangat membantu, dalam membaca, menelaah, dan memahaminya. Misalnya, jelasnya alinea-alinea yang memisahkan satu pokok pikiran/pembahasan dengan pokok pikiran/pembahasan lainnya, yang memudahkan pembaca untuk memahami isi kitab.
Setiap ayat Al-Qur’an disebutkan nama surah dan nomor ayatnya, dan juga ada tandanya yang khas, yakni tanda kurung yang berbeda dengan tanda kurung yang biasa. Hadits-hadits juga memiliki tanda yang khusus yang membedakannya dengan yang bukan hadits.
Kelebihan lainnya, kata-kata yang penting atau yang bisa menimbulkan kesalahan dalam membacanya, atau dalam memahaminya, diberi harakat, serta diberi catatan kaki, baik ma‘anil-kalimat (makna-makna kata) maupun komentar yang agak panjang.
Selain itu, kitab ini juga memiliki kelengkapan sebagai kitab ilmiah: ada daftar isi, memiliki sistematika yang jelas, ada catatan kaki, baik keterangan singkat maupun ta‘liq (komentar) terhadap beberapa hal yang perlu dijelaskan atau disebutkan.
Wassalam
Wassalam