Jalan Kebahagiaan Umat

Madrasah Hadhramaut adalah suatu istilah yang belakangan ini mulai populer di te­linga kalangan muhibbin, khususnya me­reka yang telah merasakan manis dan lezatnya mereguk ilmu dari telaga dan sumur yang tak pernah kering, yakni para sadat (imam-imam) dan rijal shalihin (wali-wali yang shalih) di Hadhramaut, negeri yang terkenal dengan sebutan Turab al-Awliya’, Tanah para Wali atau Negeri para Wali.

Istilah ini dipopulerkan oleh seorang tokoh besar, yang tidak seorang pun me­ragukan kapasitasnya, sebagai seorang ulama, pemikir, bahkan sebagai seorang wali min awliyaillah, yakni Habib Abu Bakar Al-‘Adni bin Ali Al-Masyhur.

Dalam banyak karyanya, di antara­nya kitab Ad-Dalail  an-Nabawiyyah al-Mu‘abbirah ‘an Syaraf al-Madrasah al-Abawiyyah, Habib Abu Bakar Al-Masy­hur banyak menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam istilah Madrasah Hadhramaut.

Madrasah dalam hal ini bukanlah isti­lah  yang dipergunakan bagi sebuah institusi tertentu atau kelompok tertentu, tidak pula bagi tarekat tertentu ataupun tempat tertentu yang dilingkupinya, me­lainkan suatu manhaj dan konsep pemi­kiran yang diusung oleh para pendahulu yang mulia, yang dahulu dikenal dengan nama Ath-Thariqah Al-‘Alawiyyah Al-Hadhramiyyah, yang dinisbahkan ke­pada Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir.

Istilah ini tidak dimaksudkan sebagai pembentukan suatu manhaj baru, me­lain­kan digunakan dalam rangka meng­ajak generasi baru kepada jalan Allah SWT berdasarkan manhaj yang telah dijalani oleh para pendahulu madrasah ini dengan penuh kesungguhan, keikh­lasan, dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Tidak ada perhatian terbesar bagi madrasah ini selain terhadap keber­hasil­an manhaj yang ditempuh oleh para to­kohnya, khususnya di saat-saat berha­dapan dengan kondisi-kondisi terberat dan perubahan-perubahan yang sangat ekstrem, yang sulit untuk menentukan sikap dan langkah yang tepat.

Pada situasi dan kondisi semacam itu, ilmu dan amal yang telah menyatu menjadi senjata utama. Tokoh-tokohnya mengetahui bagaimana para pendahulu mereka berjalan pada manhaj ini di saat menghadapi kondisi-kondisi yang sukar dan ekstrem. Sebagaimana yang telah dicontohkan dan dilakukan oleh Imam Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA pada saat menghadapi situasi fitnah yang dihadapinya sebelum ia turun dari ke­dudukannya sebagai khalifah.

Dalam situasi fitnah yang dapat ber­akibat tertumpahnya darah kaum mus­limin, di satu sisi, Imam Hasan RA ada­lah pihak yang benar dan pemegang khi­lafah yang haq. Di sisi lain, berdasarkan nash syar‘i dan ijma‘ yang diakui, ia ha­rus terjun sebagai sosok pendamai di antara dua kelompok kaum muslimin untuk menghindari pertumpahan darah yang bakal terjadi, sebagaimana kakek­nya, Rasulullah SAW bersabda, “Se­sung­guhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga Allah akan menda­maikan dengannya di antara dua kelom­pok kaum muslimin.”

Dengan dasar itu, Imam Hasan lebih memilih untuk menanggalkan tampuk khilafah, meskipun ia berada pada posisi yang benar. Sikap dan tindakan yang di­lakukan oleh Imam Hasan RA dalam si­tuasi fitnah itu tidak lain adalah semata-mata demi kebaikan umat Islam dan men­­jauhkan mereka dari per­tumpahan darah, yang dapat me­nim­bulkan kerugi­an dan kesengsa­raan bagi kaum mus­limin.

Jadi, Madrasah Hadhramaut me­­rupa­kan suatu manhaj pemikir­an dan dakwah yang berasal dari Al-Kitab dan as-sunnah. Manhaj yang diusung oleh tokoh-tokoh be­sar yang telah ter­masy­hur dengan akhlaq yang tinggi dan kete­guhan ilmu. Mereka menjadikan ilmu dan amal, yang dibarengi dengan wara‘, ikhlas, dan takut kepada Allah, sebagai fondasi mereka dalam menjalani manhaj ini. Inilah yang mengukuhkan manhaj mereka, ka­rena mereka tidak meng­harapkan kekokohan itu dari manusia, melainkan semata-mata mengharapkan pengukuhan yang diberikan oleh Allah SWT, dengan jalan menanamkan ma­hab­bah, cinta, di hati para hamba-Nya setelah Allah mengumandangkan keter­masyhuran mereka di langit.

Adapun mereka sendiri tidak pernah mencari ketenaran atau kedudukan se­perti yang dicari oleh selain mereka. Bah­kan, bila hal itu ditawarkan, mereka pun me­nolaknya. Mereka hanya mencari ke­selamatan dan kebahagiaaan bagi umat Baginda Mushthafa Rasulullah SAW.

Di antara nama-nama besar, yang pe­nuh dengan keajaiban ilmu dan juga ke­walian, yang dinisbahkan kepada madra­sah ini, antara lain Syaikh Abdur­rahman Assegaf, Imam Umar Al-Muh­dhar, Imam Al-Idrus, Syaikh Abu Bakar bin Salim Fakhrul Wujud, sampai kepada Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Al-Allamah Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, Imam Alwi bin Abdullah bin Syihab, dan Habib Salim bin Umar Bin Hafidz.

Mereka adalah para pemegang pan­ji-panji petunjuk dan hidayah yang se­nantiasa diikuti, yang kebesarannya di­akui oleh setiap manusia, baik yang mencintai mereka maupun yang benci, yang baik maupun yang keji, sebagai­mana orang-orang kafir Quraisy menga­kui keindahan dan ketinggian akhlaq Rasulullah SAW.

Hadhramaut maupun Luar Hadhramaut
Keagungan manhaj ini sudah se­harus­nya dikenal bahkan terpatri di hati para muhibbin dan setiap pencari pe­tunjuk menuju jalan Allah SWT. Itulah se­babnya, mulai edisi ini, alKisah menjadi­kan istilah ini sebagai nama rubrik baru di majalah kesayangan kita, tak lain da­lam rangka bertabaruk (ngalap berkah) dari peninggalan-peninggalan para sha­lihin dan ber-tafa-ul (optimistis) atas ha­rapan-harapan yang mereka tebarkan.

Rubrik ini akan menampilkan berba­gai pelajaran-pelajaran penting seputar kajian keislaman (aqidah, syari’ah, dan tasawwuf), yang bersumber dari karya-karya, baik berupa kitab maupun kum­pul­an materi dakwah, dari para ulama shalihin kontemporer, yang menjadi para pendukung manhaj ini. Baik berasal dari Hadhramaut maupun di luar Hadhra­maut.

Tidak lain, ini dimaksudkan agar kita semakin dekat dengan ajaran para ula­ma yang rasikhun (mendalam dan kuat) dalam ilmu, ‘arifun (memiliki ma‘rifah yang benar) kepada Allah, dan kamilun (sempurna) dalam berittiba‘ kepada Rasulullah SAW, sehingga kita dapat mengikuti jejak dan ajaran mereka.

Tokoh yang karyanya pertama kali kami tampilkan dalam rubrik ini adalah Habib Ali Al-Jufri. Nama lengkapnya adalah Ali Zainal Abidin bin Abdurrah­man Al-Jufri. Ia dilahirkan di kota Jeddah, Arab Saudi, sebelum fajar, pada hari Jum‘at, 16 April 1971, bertepatan de­ngan 20 Safar 1391 H.

Ia adalah ulama, dai, dan pemikir Islam muda, yang terlahir dari didikan ulama-ulama besar yang amat termasy­hur. Di antara guru-guru utamanya ada­lah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah, Habib Ahmad Masy­hur bin Thaha Al-Haddad, Sayyid Muham­mad bin Alawi Al-Maliki, Makkah, Habib Atthas Al-Habsyi, Habib Abu Bakar Al-Masyhur Al-Adni, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, Habib Umar Bin Hafizd, Yaman.

Kini, dakwah Habib Ali Al-Jufri telah sampai menyentuh hampir seluruh be­lahan dunia, antara lain Arab: UAE (Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lubnan, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Ke­pulauan Komoro, dan Djibouti), Asia (Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, dan Sri Lanka), Afrika (Kenya dan Tanzania), Eropa (Britania Raya, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia & Herzego­vina, dan Turki), juga Amerika.

Tulisan yang kami tampilkan dari karya Habib Ali Al-Jufri, insya Allah, se­cara berseri, merupakan rangkuman yang diolah dari kumpulan materi peng­ajaran dan dak­wahnya yang disampai­kan pada salah satu program Televisi Syam selama bu­lan Ramadhan 1429 H/2008 M, dengan tema As-Sayr ila Allah, Perjalanan Me­nuju Allah.
Previous
Next Post »