“Engkau telah membatalkan pahala tiga kali haji dalam sekejap! Engkau memamerkan hajimu ini, haji yang sebelumnya, dan haji yang sebelumnya lagi!”
Setelah kita memahami faedah mengetahui sumber kebaikan yang berasal dari malaikat, selanjutnya mari kita memahami faedah yang akan kita dapatkan dari mengetahui sumber kebaikan yang berasal dari Allah SWT.
Ketahuilah, apa yang engkau rasakan dari lintasan kebaikan yang Allah tanamkan ke dalam hatimu adalah ilham. Allah SWT berfirman, “Maka Allah memberikan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” — QS Asy-Syams (91): 8.
Ilham adalah tanda bentuk perhatian Allah terhadap dirimu. Bahwa Allah berdialog denganmu (mengilhamkan sesuatu kepadamu) ini merupakan karunia dari-Nya. Karena itu dengarkanlah dan jangan mencemarinya.
Saat engkau berkata “Tuhanku berkata kepadaku di dalam hatiku. Dia berkata kepadaku, ‘Malam ini bila engkau tidur tidaklah mengapa dan tidak mengapa pula bila engkau tidak shalat malam’.”, ingat, itu adalah bisikan setan kepadamu. Janganlah engkau jadikan setan sebagai tuhanmu.
Yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah syari’at
Ilham merupakan karunia dari Allah SWT yang ditanamkan ke dalam hati para shadiqin (orang-orang yang teguh memegang kebenaran) di antara hamba-hamba-Nya. Di kalangan kaum muslimin, di antara orang-orang yang mendapatkan ilham (muhaddatsun) adalah Sayyidina Umar bin Khaththab. Sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Jami‘ ash-Shaghir, dengan sanad yang shahih, Nabi SAW bersabda, “Sungguh telah lalu di antara umat-umat terdahulu sebelum kalian terdapat orang-orang yang muhaddatsun (mendapatkan ilham). Maka jika itu terjadi pada salah satu dari umatku, orang itu adalah Umar bin Khaththab.”
Dalam riwayat yang termasyhur, Sayyidina Umar RA datang kepada Nabi SAW, dan Allah memberi ilham ke dalam hatinya, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila saja kita menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” Maka turunlah Jibril AS dari langit ketujuh menyampaikan firman Allah SWT kepada Nabi SAW, "... Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim tempat shalat..." -- QS Al-Baqarah (2): 125.
Kemudian datang lagi Sayyidina Umar kepada Rasulullah SAW, dan berkata, “Wahai Rasulullah, bila saja engkau perintahkan istri-istrimu untuk mengenakan hijab.” Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang memerintahkan istri-istri Nabi SAW untuk berhijab.
Rasulullah SAW pun kemudian bersabda, “... maka jika itu terjadi pada salah satu dari umatku, dia itu adalah Umar bin Khaththab.” Semoga Allah meridhai Sayyidina Umar bin Khaththab.
Diriwayatkan juga dalam riwayat yang shahih, pada saat Sayyidina Umar berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba beliau berteriak, “Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!!”
Para sahabat yang mendengarkan pun saling pandang keheranan.
Dalam kitab Asad al-Ghabah diriwayatkan, Sayyidina Ali RA ketika melihat para sahabat keheranan berkata kepada mereka, “Biarkanlah ia, biarkan... nanti kalian tahu apa yang terjadi.”
Sayyidina Ali RA mengerti masalah yang sesungguhnya.
Setelah selesai shalat Jum‘at, para sahabat bertanya kepada Sayyidina Umar RA, “Apa yang terjadi, wahai Amirul Mu’minin?”
“Adakah sesuatu yang terjadi?” Sayyidina Umar balik bertanya.
“Wahai Amirul Mu’minin, engkau berkhutbah, tiba-tiba engkau berteriak, ‘Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!!”
“Benar, terlintas di hatiku bahwa pasukan musuh hendak menyerang pasukan Islam dari arah gunung.”
Ketika pasukan Islam baru tiba kembali di Madinah, para sahabat pun bertanya kepada mereka apa yang terjadi.
Mereka pun menjawab, “Kami mendengar suara seperti suara Umar berteriak, ‘Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!! Pasukan, ke arah gunung!!!’.”
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Sayyidina Umar bin Khaththab. Yang terjadi itu tidak lain adalah karunia yang Allah berikan ke dalam hati Sayyidina Umar RA. Apa yang Sayyidina Umar RA rasakan pada saat itu bahwa pasukan tengah membutuhkan peringatan, itu merupakan ilham yang Allah berikan kepada Sayyidina Umar. Allah memberikan ilham kepadanya.
Diriwayatkan, seorang Badwi datang ke majelis Sayyidina Utsman bin Affan. Sebelum tiba di majelis, Badwi itu memandang seorang wanita dengan pandangan yang diharamkan.
Ketika si Badwi masuk dan duduk di majelis, raut wajah Sayyidina Utsma pun mendadak berubah, sembari berkata, “Apakah ada seseorang di antara kalian yang berzina dengan kedua matanya lalu datang ke majelis ini sebelum beristighfar memohon ampun kepada Allah?”
Mendadak si Badwi pun berteriak, “Apakah ada wahyu setelah wafatnya Rasulullah SAW?”
“Tidak, melainkan itu adalah firasat,” jawab Sayyidina Utsman menerangkan. “Berhati-hatilah dengan firasat seorang mukmin, karena sesungguhnya ia memandang dengan nur Allah,” katanya melanjutkan, mengutip sebuah hadits.
Semua riwayat itu adalah dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Maka pada perkara-perkara hubunganmu secara khusus kepada Allah, itu tentu lebih utama dan lebih agung lagi.
Bila engkau merasakan bahwa Allah SWT berkata kepadamu “Bangun dan shalatlah dua rakaat. Bangun dan bersedekahlah”, itu berarti bahwa Allah SWT memberikan ilham kepadamu agar engkau tergerak untuk melakukan kebajikan. Maka bersegeralah untuk menunaikannya. Jangan pernah untuk tidak menunaikannya. Bangkit dan bersegeralah datang kepada Tuhanmu, hatimu merasakan dan berkata, “Allah memberiku karunia.”
Lantas apa faedah kita mengetahui, merasakan, dan menyadari bahwa lintasan kebajikan ini datang sebagai ilham dari Allah SWT?
Faedahnya adalah agar kita selamat dari penyakit ujub. Pada babnya nanti akan dijelaskan secara terperinci ihwal ujub ketika dijelaskan perihal penyakit-penyakit hati pada pasal penjelasan tentang kebinasaan-kebinasaan mengikuti hawa nafsu.
Ujub
Apa itu ujub? Ujub adalah perasaan yang menguasai hati yang mana seseorang menganggap dirinyalah yang telah berbuat sesuatu dan perbuatan itu berasal dari dirinya sendiri sehingga karenanya ia merasa berhak untuk menuntut sesuatu kepada Allah SWT. “Sekarang aku sudah menunaikan shalat, maka berilah aku .... Sekarang aku sudah menunaikan zakat, maka berilah aku ... karena jerih payahku itu.”
Inilah yang dikatakan oleh para ulama sebagai istihqaqun (merasa berhak), yang telah membinasakan iblis ketika dia berkata, “Aku lebih baik darinya (Nabi Adam AS). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.”
Apa yang dapat memeliharamu dari penyakit ujub?
Setiap kali engkau merasa dan menyadari bahwa setiap amal kebajikan bermula dari lintasan yang dikaruniakan oleh Allah kepadamu atau lintasan yang dibisikkan oleh malaikat yang Allah utus kepadamu, apakah mungkin engkau akan merasa ujub terhadap kebajikan yang telah engkau lakukan?
Apakah mungkin engkau akan menuntut kepada Allah karena satu perbuatan yang engkau merasa dan menyadari bahwa Dia-lah yang mengilhamkan kepadamu pada kebajikan itu, Dia-lah yang mengutus malaikat, yang tercipta dari cahaya, kepadamu?
Bila engkau merasakan dan menyadari semua makna itu sebelum melakukan amal-amal kebajikan, tidak akan mungkin nafsumu dapat mempermainkanmu.
Akan tetapi, apabila engkau shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an dengan memperhatikan adab dan tajwidnya, menunaikan shalat malam, melakukan puasa sunnah, lalu engkau merasa “Akulah yang melakukannya”, hal itu sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ibrahim bin Adham sebagaimana yang dinukilkan oleh para ulama berikut ini:
Suatu ketika Sayyidina Ibrahim bin Adham RA berkunjung ke rumah seorang yang dikenalnya.
Setelah tiba di rumah orang yang dituju, ia bermaksud untuk buang hajat, dan ia melakukannya.
Usai buang hajat, ia berwudhu dan hendak melakukan shalat dua rakaat sunnah wudhu.
Mengetahui hal itu, pemilik rumah berkata, “Tunggu!” Pemilik rumah kemudian berbicara kepada istrinya, “Ambillah sajadah yang kita beli waktu haji. Bukan haji yang sekarang, bukan pula yang tahun kemarin, tapi haji tahun sebelum kemarin.”
Melihat hal itu, Sayyidina Ibrahim bin Adham berkata kepada pemilik rumah, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un.”
“Kenapa?” tanya pemilik rumah.
“Engkau telah membatalkan pahala tiga kali haji dalam sekejap! Engkau memamerkan hajimu ini, haji yang sebelumnya, dan haji yang sebelumnya lagi!”