Kewajiban Beribadah disertai Keikhlasan

Allah SWT berfirman:

وما خلقت الجن والإنس الا ليعبدون

Artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”       (Qs. Adz-Dzariyat: 56)

يا عبادي الذين امنوا إن أرضي واسعة فإياي فاعبدون

Artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku tuas, maka kepada-Ku/ah kalian menyembah.”. (Qs. Al-Ankabut: 56)

Sudah menjadi tugasmu wahai orang mukmin semoga Allah SWT memberimu taufiq untuk lebih mengerahkan seluruh jiwa ragamu dalam menyembah Tuhanmu dengan membuang apa saja yang dapat menghalangi dirimu dari ibadah, dan mengalihkan apa saja yang dapat menghalangimu dari beribadah kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa beribadah tidak di-anggap sah jika tidak berdasarkan ilmu, ilmu dan ibadah tidak akan bermanfaat jika tidak disertai dengan keikhlasan, dan berpegang teguhlah kepadanya.

Sesungguhnya keikhlasan merupakan intisari dan sumber yang dijadikan sandaran amalan. Ikhlas sebagaimana yang didefinisikan oleh Abul Qosim Al-Qusyairi adalah: “Meng-Esakan Allah SWT dalam beribadah yang diserui dengan tujuan.” Yaitu engkau bertujuan dengan ketaatanmu hanyalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa tujuan lain, baik itu berpura-pura dihadapan makhluk atau untuk mencari pujian ditengah-tengah manusia, atau karena merasa senang dengan pujian orang, atau tujuan apapun

Menghindari Sifat Riya’ (Suka Pamer)

Jauhilah perbuatan riya’ karena dapat menjadikan amalan sia-sia dan menghilangkan pahala, serta dapat menyebabkan kemurkaan dan hukuman Allah SWT Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menamakannya: Syirik yang kecil.

Disebutkan dalam sebuah hadits shahih dari Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam:

أول خلق الله تصلى به النار ثلاثة : رجل قرأ القران ليقال إنه قارئ , ورجل استشهد وما قاتل الا ليقال إنه جريء , ورجل له مال تصدق منه صدقة ليقال إنه جواد

Artinya: “Makhluk ciptaan Allah yang pertama kali akan dimasukkan kedalam neraka ada tiga, yaitu : seseorang yang membaca Al-Quran agar dikatakan bahwa ia adalah seorang qori‘ (pembaca Al-Quran), seseorang yang mati syahid sedangkan tujuannya ikut berperang agar dikatakan bahwa ia seorang pemberani, dan seseorang yang memiliki harta lalu ia menyedekahkannya agar dikatakan bahwa ia adalah seorang yang dermawan “

Riya’ adalah sifat mencari kedudukan dikalangan manusia, dengan berpura-pura melakukan amalan yang semestinya digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti shalat dan puasa. J ika engkau merasakan adanya perasaan riya’ pada dirimu, maka janganlah engkau mencari jalan keluarnya dengan meninggalkan amalan itu, karena dengan demikian berarti engkau telah membuat setan gembira, justru engkau harus melihat, bahwa setiap amalan yang tidak dapat engkau kerjakan melainkan harus dilihat oleh manusia, seperti haji, jihad, menuntut ilmu, shalat berjamaah, dan hal-hal semisalnya, maka engkau harus melakukannya sebagaimana yang Allah SWI perintahkan kepadamu dan lawanlah hawa nafsumu serta mintalah pertolongan Allah SWT.

Adapun amalan yangbukan sejenis diatas, seperti puasa, bangun malam, sedekah dan membaca Al-Quran, maka didalam menjalankan amalan ini engkau harus berusaha untuk menyembunyikannya, karena melakukannya di tempat yang tersembunyi lebih utama secara mutlak, kecuali bagi orang-orang yang terlindungi dari perbuatan riya’ dan agar amal yang ia lakukan bisa dijadikan sebagai panutan oleh masyarakat.

Menghindari Sifat ‘Ujub (Membanggakan Diri)

Hati-hatilah terhadap sifat ‘ujub karena ia dapat menghapus amalan kebaikan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:

العجب يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب

Artinya: “‘Ujub memakan amal kebaikan sebagai-mana api memakan kayu “

ثلاث مهلكات : شح مطاع , وهوى متبع , وإعجاب المرء بنفسه

Artinya: “Ada tiga hal yang dapat membinasakan seseorang yaitu : orang kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan seseorang yang merasa takjub pada dirinya sendiri”

‘Ujub adalah ibarat pandangan seseorang terhadap dirinya dengan penuh kebanggaan, dan setiap apa yang diperbuatannya adalah merupakan suatu kebaikan, dari situlah timbul sikap memamerkan amalan yang dilakukannya dan menyombongkan diri dihadapan manusia serta merasa puas terhadap apa yang diperbuat oleh dirinya sendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah ra: “Sumber segala kemaksiatan, kelalaian dan syahwat adalah merasa puas terhadap perbuatan diri sendiri.”

Barangsiapa yang puas terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri, maka ia akan buta terhadap aib-aibnya, lalu kapan seseorang dikatakan berhasil dalam kehidupannya bila dia tidak mengetahui akan cacat dirinya?

Seorang penyair berkata:

Pandangan yang dipenuhi dengan keridhaan akan menutup segala kekurangan
Sebagaimana pandangan yang dipenuhi dengan rasa kebencian
akan menampakkan segala kejelekan

[Menuju Akhirat Dengan Bekal Taqwa Bagian 11]

Risalatul Mudzakarah Maal Ikhwanul Muhibbin Min Ahli Khair Wad-Din Karya al-Alamah al-Habib Abdullah bin Alwi al Haddad
Previous
Next Post »