Wahai murid, tanamkanlah kuat-kuat muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam hatimu sehingga engkau dapat menjaga matamu. Matamu sungguhlah sangat mahal dan berharga. Sesungguhnya Allah menciptakan mata ini untuk memandang Wajah-Nya Yang Maha Mulia
Kata al-qalb, yang berarti hati, memiliki berbagai makna yang mencakupinya, antara lain:
Pertama, al-idrak (pemahaman). Yakni merupakan hasil dari berbagai isyarat yang dikirimkan oleh otak, hasil dari pemikiran, percobaan, dan dari interaksi-interaksi dengan segala sesuatu yang ada di sekitar.
Setelah pemahaman-pemahaman tentang segala sesuatu itu disatukan antara satu dan yang lainnya, pemahaman itu akan menjadi pemahaman yang cemerlang. Dari pemahaman yang cemerlang itu akan lahir keinginan, yakni al-iradah (kehendak).
Kedua, al-iradah (kehendak). Yakni kemampuan dalam hati yang berasal dari al-idrak yang berada di dalam hati. Dan tujuan seorang murid yang berjalan menuju Allah dan menghendaki akhirat adalah naik kepada derajat yang tinggi di sisi Allah SWT dengan makna ini, yakni hati yang senantiasa menghendaki kedekatan dengan Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” – QS Al-Hajj (22): 46.
Dalam hadits qudsi yang shahih, dalam kitab Al-Bukhari dan lainnya, Allah SWT berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, niscaya Aku menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang ingin mendekat dengan menjalankan apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku senantiasa terus bertaqarrub kepada-Ku dengan perkara-perkara yang sunnah setelah melaksanakan yang wajib sampai Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya, Aku adalah pendengaran baginya untuk ia mendengar, pandangannya untuk ia melihat, tangannya untuk ia menggenggam, lisannya untuk ia berbicara, dan kakinya untuk ia berjalan... dan jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, dan bila ia memohon perlindungan-Ku, niscaya Aku lindungi dia.”
Dalam hadits qudsi di atas, Allah SWT mengatakan, “Aku adalah pendengaran dan penglihatannya...” Maknanya, orang tersebut mendengar dan melihat dengan pandangan dan penglihatan Allah. Maka betapa agungnya penangkapan hati semacam ini? Inilah yang kita bicarakan dalam kesempatan ini.
Untuk dapat tumbuh di lapangan al-idrak dan kemudian di lapangan al-iradah, sesungguhnya hati membutuhkan kesungguhan dan perbuatan. Kesungguhan dan perbuatan itulah yang disebut “suluk”, yakni as-sayr ilallah, perjalanan menuju Allah SWT.
Jalan Meningkatkan Derajat Hati
Hal pertama yang dibutuhkan oleh hati untuk sampai kepada derajat yang agung adalah menutupi jendela-jendela yang menjadi tempat masuknya kotoran dan noda-noda hitam dalam hati.
Apabila pada sebuah kamar terdapat jendela-jendela yang terbuka dan di sekitarnya banyak debu beterbangan, bagaimanakah kondisi kamar tersebut?
Tentu kamar itu akan penuh dengan debu.
Boleh jadi engkau mengambil alat penyedot debu. Tetapi bila jendela-jendelanya tetap terbuka dan debu di sekitarnya beterbangan, apakah kamar itu akan bersih, meskipun masing-masing sibuk membersihkannya dengan satu, dua, atau bahkan tiga alat sekalipun?
Tentu kamar itu tidak akan pernah bersih, karena jendela-jendelanya terbuka lebar. Debu-debu yang beterbangan di sekitar kamar itu akan terus masuk ke dalamnya. Demikian pula dengan hati.
Hati memiliki berbagai macam penyakit seumpama kotoran yang menumpuk di dalam kamar. Dan di antara penyakit-penyakit hati yang sangat berbahaya adalah hasud, riya’, sombong, ujub, dan cinta kedudukan di antara manusia.
Sebelum kita membahas masalah menyapu dan membersihkan kamar, seyogianya terlebih dahulu kita memahami jendela-jendela hati yang darinya dapat masuk berbagai macam kotoran dan noda-noda ke dalam hati.
Jendela-jendela itu ada dua macam, yakni jendela hissiyah (lahir), yang dapat diindra, dan jendela ma‘nawiyah (bathin), yang tidak dapat dilihat ataupun diindra.
Suci Jendela Lahir
Jendela-jendela hati yang tergolong lahir adalah penglihatan, pendengaran, dan ucapan, yakni mata, telinga, dan mulut. Itulah jendela-jendela hati yang terbuka.
Bagaimana gambaran jendela-jendela itu terbuka?
Maknanya, segala apa yang engkau lihat akan melekat di dalam hati dengan sebab penglihatan itu. Mata menangkap obyek lalu tersimpat kuat di dalam ingatan hati.
Melihat sesuatu yang berupa kegelapan (keburukan), rupa kegelapan itu akan tersimpan di dalam hati. Melihat sesuatu yang berupa cahaya (kebaikan), rupa cahaya itu pun akan tersimpan di dalam hati. Demikian pula melihat sesuatu yang lain, yang tidak berupa kegelapan dan tidak pula cahaya, seperti pohon, kebun, rumah, sungai, dan sebagainya. Namun penglihatan semacam ini tergantung dari sisi mana seseorang melihatnya.
Bila ia melihatnya dari sisi tafakkur terhadap keagungan Pencipta-nya, penglihatan itu termasuk jendela cahaya dan cahaya itu akan masuk ke dalam hati. Atau ia melihatnya dengan pandangan kelalaian, semata-mata melihat keindahannya, yang boleh jadi penglihatan itu melalaikannya dari shalat, misalnya, atau melalaikannya dari perbuatan baik lainnya, maka penglihatan itu merupakan jendela kegelapan, dan kegelapan itu pun akan masuk ke dalam hati.
Uraian ini mengandung dua makna, yakni keadaan saat memandang, dan yang kedua bahwa mata dapat memberikan pengaruh terhadap hati.
Pandangan adalah anak panah Iblis yang beracun. Allah SWT berfirman dalam hadits Qudsi, “Barang siapa meninggalkan pandangan (yang buruk) karena takut kepada-Ku, niscaya Aku gantikan pandangannya itu dengan rasa manis yang akan ia dapatkan di hatinya.”
Maknanya, pandangan dapat memberikan pengaruh terhadap hati. Pandangan mata adalah jendela pertama hati.
Lalu apa yang dibutuhkan oleh seorang dalam hal ini?
Berjalan dengan memejamkan mata?
Tentu tidak. Melainkan membutuhkan filter. Melangkah pada situasi dan kondisi apa pun, hatilah yang harus menjadi pengendali pandangan matanya. Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua tingkatan.
Pertama, orang-orang yang jendelanya menjadi pengendali bagi hatinya.
Pada tingkatan ini seseorang akan melihat apa pun juga yang dapat ia lihat. Haram, halal, boleh atau tidak boleh, semua akan dilihatnya. Dan selanjutnya hatinya pun menjadi pengikut pandangan matanya.
Kedua, orang-orang yang hatinya menjadi pengendali pandangan matanya.
Pada tingkatan ini, bila akan memandang dan melihat sesuatu, ia akan bertanya terlebih dahulu: Apa tujuannya pandangannya? Hatinyalah yang memberikan perintah apa yang harus dilihat, bagaimana melihatnya, dan apa saja yang tidak boleh dilihat.
Pandangan yang Tercela
Pandangan yang tercela dapat digolongkan kepada tiga macam:
Pertama, pandangan yang berhubungan dengan syahwat atau hawa nafsu. Seperti memandang aurat perempuan di jalan, televisi, ataupun internet. Seorang yang ingin berjalan menuju Allah hendaknya bertekad, “Aku tidak akan pernah lagi memandang apa pun dari semua itu sejak saat ini.”
Kedua, memandang dunia dengan pandangan ta’zhim, yakni memandang perkara duniawi sebagai sesuatu yang besar dan agung. Bukanlah suatu kesalahan memandang suatu ciptaan Allah SWT yang indah dan sempurna dengan pandangan kagum terhadap kesempurnaan penciptaannya, namun yang menjadi masalah adalah jika memandangnya dengan pandangan ta‘zhim karena dzat sesuatu itu sendiri.
Ketiga, memandang manusia dengan pandangan rendah dan hina.
Engkau memandang orang lain kemudian memandangnya hina dan rendah. Mengapa engkau memandangnya rendah? Apakah karena engkau lebih kaya dan lebih banyak harta darinya?
Hendaklah engkau malu kepada Allah SWT. Engkau adalah seorang salik dan murid menuju Allah SWT. Bagaimana mungkin engkau ingin datang kepada Allah tetapi memandang manusia dengan pandangan hina hanya karena merasa lebih kaya harta? Sesungguhnya harta itu halalnya adalah hisab (pertanggungjawaban) di hari Kiamat dan haramnya adalah adzab.
Atau karena engkau merasa lebih tinggi ilmu darinya? Sesungguhnya ilmu itu bisa menjadi hujjah yang akan menolongmu, namun bisa juga menjadi hujjah yang akan memberatkanmu di hadapan Allah.
Allah akan mempertanyakan semua itu. Celakalah orang bodoh karena tidak pernah menyembah Allah meski hanya sekali, dan celakalah orang yang berilmu karena mendurhakai Allah seribu kali.
Mengapa engkau merasa lebih mulia dari orang lain, baik dengan nasab ataupun kedudukan?
Abu Lahab lebih mulia nasabnya, tapi sungguh nasabnya tidak berguna baginya. Kita mencintai ahlul bayt dan memuliakan mereka, akan tetapi sebatas nasab tidaklah cukup bila dipisahkan dari agama.
Bila tidak dengan nasab dan kedudukan, dengan apa engkau merasa lebih mulia dari orang lain?
Dengan ketaatan?
Hati-hatilah, wahai murid. Janganlah pernah engkau memandang orang yang durhaka sekalipun dengan pandangan hina dan rendah. Pandangan semacam ini adalah pandangan yang sangat berbahaya dan diharamkan. Hati dapat menjadi gelap karenanya.
Diriwayatkan, seorang abid (ahli ibadah), yang sama sekali tidak pernah berbuat maksiat, dari Bani Israil, suatu ketika bertemu dengan seorang pendurhaka fasik, yang sama sekali tidak pernah berbuat kebaikan dalam hidupnya.
Setelah berjumpa, masing-masing saling berpaling.
Sang abid berpaling karena kesombongan. Ia merasa lebih baik dari si fasik. Dalam hati ia berkata, “Allah tidak akan mengampuni si Fulan fasik ini selama-lamanya.”
Si abid merasa lebih mulia dari si fasik, dengan apa? Dengan ibadah dan ketaatannya. Sesungguhnya ibadah itu bila benar dan tulus akan melahirkan tawadhu dan rendah hati. Namun, si abid sombong dengan ibadahnya.
Sementara si fasik, ia berpaling dari si abid karena merasa malu kepada Allah SWT. Dalam hatinya berkata, “Siapakah aku ini? Aku tidak pantas bertemu dengannya. Ia seorang yang shalih, sedangkan aku orang yang fasik.”
Diceritakan, di antara karamah si abid ini adalah ia dinaungi oleh awan ke mana pun pergi. Namun, setelah si abid berpaling dari si fasik karena kesombongannya dan si fasik berpaling darinya karena merasa malu kepada Allah, awan itu pun pergi meninggalkan si abid dan mengikuti si fasik.
Apa yang menyebabkan hal itu? Sebabnya adalah karena si abid memandang si fasik dengan pandangan rendah dan hina.
Itulah sebabnya, jangan pernah memandang hina dan rendah siapa pun. Hinakanlah maksiat, tetapi jangan hinakan orang yang berbuat maksiat. Rendahkanlah kekafiran, tetapi jangan pernah merendahkan orang kafir. Sesungguhnya dzat yang hina dengan kekafiran adalah dzat yang kafir.
Siapakah dzat yang kafir itu? Dzat kafir adalah seorang hamba yang mati dalam keadaan kafir. Selama dzat itu masih dalam ikatan kehidupan, ia tidak boleh dihinakan dan direndahkan, karena tidak seorang pun mengetahui dalam keadaan apakah matinya kelak? Karenanya, janganlah pernah merendahkan siapa pun di antara makhluk-makhluk Allah SWT.
Tutuplah mata dari tiga macam pandangan yang tercela itu dan menggantinya dengan pandangan yang dapat menyinari hati dengan cahaya yang terang.
Memandang apa yang diperkenankan oleh Allah dengan pandangan tafakkur. Memandang kedua orangtua, para ulama, shalihin, dan saudara-saudara kita, dengan pandangan mahabbah. Memandang mereka yang taat dengan pandangan kemuliaan. Memandang lembaran-lembaran al-mushaf. Bahkan memandang pendurhaka dengan pandangan kasih sayang. Semua itu adalah bagian dari pandangan yang akan menerangi hati.
Wahai murid, tanamkanlah kuat-kuat muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam hatimu sehingga engkau dapat menjaga matamu. Matamu sungguhlah sangat mahal dan berharga. Sesungguhnya Allah menciptakan matamu untuk memandang wajah-Nya yang mulia. Allah telah menciptakan pada diri kalian anggota badan untuk memandang wajah-Nya yang mulia, maka peliharalah ia. Sesungguhnya wajah Allah mahamulia untuk dapat diperkenankan bagi mata hamba-hamba yang rela untuk mengotori dan dikotori hatinya.
Basuhlah matamu, pada malam hari, dengan air mata khaysyah (rasa takut) kepada Allah SWT. Jadikanlah rasa takut itu sebagai penjaga jendela hatimu agar ia dapat menerangi hati, sehingga engkau akan dapat datang kepada-Nya dan Dia pun ridha kepadamu.