Penangkal Lintasan Buruk (2)

Sesungguhnya, dari segala lintasan keburukan, yang paling lemah adalah setan, yang paling berat adalah lintasan nafsu, dan yang paling berbahaya adalah istidraj yang datang dari Allah SWT.

Pada majelis yang lalu kita sudah mengetahui bahwa lintasan keburukan adakalanya berasal dari setan, ada yang berasal dari bisikan nafsu, dan ada pula yang berasal dari Allah sebagai adzab dan istidraj (uluran kepada ke­binasaan), sebagaimana firman Allah SWT, “Kami akan menarik mereka de­ngan berangsur-angsur (ke arah kebina­saan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”

Bagaimana lintasan keburukan da­tangnya dari Allah? Benar, yakni apabila seorang hamba memperlakukan Tuhan­nya dengan perbuatan yang merendah­kan dan menghinakan perintah-perintah-Nya atau angkuh di hadapan keagung­an-Nya.

Mungkin seseorang bertanya, apa­kah gunanya kita mengetahui segala macam keburukan? Bukankah cukup kita tahu lalu kita tinggalkan?

Ketahuilah, bila saja masalahnya hanya semudah itu, niscaya habislah ke­sukaran dalam masalah ini. Sesungguh­nya perjalanan menuju Allah adalah per­jalanan yang teramat agung, musuh-mu­suhmu tidak pernah rela untuk melihat­mu sampai kepada Allah.

Namun, meskipun demikian, bagi se­tiap macam lintasan keburukan itu ter­sedia penangkalnya yang sesuai dengan sumbernya masing-masing. Lintasan buruk yang datang dari setan ada pe­nangkalnya, lintasan buruk yang berasal dari nafsu ada penangkalnya, dan lintas­an buruk yang datang sebagai adzab dan istidraj dari Allah pun memiliki pe­nangkalnya.

Membedakan Sumber Lintasan Buruk
Para ulama mengatakan, ketika eng­kau mengetahui bahwa lintasan yang datang itu adalah lintasan keburukan, perhatikanlah, apa lintasan itu dapat dihilangkan dengan dzikir? Karena itu, ucapkanlah, misalnya a-udzu billahi minasy-syaythanir-rajim, la ilaha illallahu wahdahu la syarika lah lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qadir, bismillahil-ladzi la yadhurru ma‘asmihi syay-un fil-ardhi wa la fis sama-i wa huwas-sami‘ul-‘alim, atau bershalawatlah kepada Rasulullah. Ke­mudian perhatikanlah, setelah engkau sibukkan dirimu dengan dzikir, apakah lintasan itu pergi dari dirimu. Apabila lintasan itu pergi darimu, sudah pasti itu datangnya dari setan.

Kemudian perhatikan lagi, apakah lintasan yang datang ke dalam hatimu itu terus-menerus dalam bentuk kebu­ruk­an atau kedurhakaan dalam bentuk yang sama, atau  dalam bentuk kedurha­kaan yang lain pada tingkatan yang sama atau lebih besar? Misalnya, datang kepadamu satu lintasan untuk memutus­kan silaturahim. Lintasan semacam ini baik, ataukah buruk? Syari’at mengata­kan, itu adalah buruk.

“Kepada Fulan atau Fulanah – yang masih kerabat denganmu – aku sudah berbuat ini dan itu terhadap mereka. Di saat aku dikaruniai putra, mereka tidak datang sama sekali memberikan sela­mat untukku. Sudahlah! Aku tidak akan menghadiri pernikahan mereka.” Kemu­di­an engkau sibukkan dirimu dengan dzikir kepada Allah, namun tidak juga lintasan itu pergi. Bila  itu yang terjadi, ketahuilah bahwa lintasan itu tidak berasal dari setan, melainkan dari hawa nafsu.

Untuk memastikan bahwa itu datang dari setan atau hawa nafsu, coba bisik­kan ke dalam hatimu lintasan keburukan yang lebih besar dari itu, misalnya, “Aku akan hadir kepada mereka, tetapi sete­lah itu aku akan singgah ke kafe anu un­tuk ini dan itu.” Bila saat itu hatimu ber­kata “Hadirlah ke pernikahan mereka, setelah itu pergilah ke tempat maksiat ini dan itu”, itu datang dari setan. Akan tetapi bila hatimu berkata “Tidak, aku ti­dak akan mendatangi mereka”, dan te­tap berkata semacam itu, meskipun telah diiming-imingi dengan maksiat yang lain dan lebih besar, itu datangnya dari hawa nafsu.

Mengapa demikian, karena setan adalah musuhmu. Kepentingannya ha­nyalah agar engkau binasa. Ia tidak pernah peduli apakah engkau binasa dengan memutuskan silaturahim, ber­buat keji, minum khamar, atau yang lain­nya. Yang terpenting baginya adalah engkau binasa. Sesungguhnya bila se­tan tidak dapat memuaskanmu dengan satu perbuatan maksiat tertentu, dan eng­kau setuju dengan perbuatan mak­siat yang lain, dia akan senang karena­nya. Baginya, engkau harus binasa.

Bila datang kepadamu satu lintasan dan engkau tahu bahwa itu adalah ke­burukan, perhatikanlah, apakah lintasan itu datangnya secara tiba-tiba atau se­telah engkau melakukan maksiat dan belum taubat dari maksiat itu.

Setiap kita tentu pernah melakukan maksiat, semoga Allah memelihara kita semua dari maksiat, tapi adalah musibah besar apabila seseorang melakukan mak­siat namun tidak diikuti dengan taubat, tidak kembali kepada Allah, dan tidak memohon ampun kepada-Nya.

Dalam suatu riwayat disebutkan, malaikat meminta kepada Allah untuk segera mencatat kemaksiatan, maka Allah berfirman kepadanya, “Jangan ter­buru-buru, mudah-mudahan saja ham­ba-Ku akan bertaubat, mudah-mudahan hamba-Ku bertaubat dan kembali ke­pada-Ku.”

Maka malaikat itu pun diam bebe­rapa saat, tidak segera mencatat mak­siat itu atas si hamba.

Bukti dari riwayat ini, seseorang bila menggampang-gampangkan maksiat niscaya akan terjatuh ke dalam maksiat, kebalikan dari ia memohon ampun ke­pada Allah, bertaubat, memohon rah­mat, maghfirah, dan ampunan. Atau, ia tertawa terhadap maksiat yang dilaku­kan, dan bahkan, wal ‘iyadzu billah, terka­dang ia bangga dengan kemaksiat­an yang dilakukannya. Sesungguhnya mak­siat semacam ini adalah maksiat ter­be­sar bagi para pelakunya. Seseorang ber­buat maksiat pada suatu hari lalu Allah menutupi kemaksiatannya namun ia sen­diri yang justru kemudian mem­buka­nya lagi, maka Allah akan meng­adzab­nya, wal ‘iyadzu billah, dengan me­lem­par­kan ke dalam hatinya keingin­an untuk berbuat maksiat untuk kedua kali­nya dan seterusnya. Mengapa? Ka­rena ia mere­mehkan perkara kedur­hakaan terhadap Allah SWT.

Imam Al-Ghazali berkata, “Jika eng­kau mendapati lintasan keburukan yang datang terus-menerus terhadap satu ke­maksiatan dan ia datang kepadamu se­telah engkau melakukan satu kemaksiat­an yang engkau belum bertaubat dari­nya, ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah SWT. Itu adalah lintasan yang paling buruk dari segala bentuk lintasan ke­burukan, maka segeralah kembali ke­pada Allah SWT, beristighfar dan mo­honlah ampun kepada-Nya.”

Penangkal Lintasan Setan
Bila engkau telah mengetahui bahwa lintasan yang datang berasal dari setan, apa penangkal terhadap setan? Penang­kalnya adalah dzikir. Paling ringan dan pa­ling lemahnya lintasan keburukan ada­lah yang berasal dari setan. Dasar dari hal itu adalah firman Allah SWT, “Se­sungguhnya tipu daya setan itu teramat lemah.” (QS An-Nisa: 76).

Perhatikanlah, bagaimana jelasnya bahwa tipu daya setan itu lemah. Yang paling lemah dari segala bentuk lintasan buruk adalah setan, dan kita pun sering kali mengaitkan segala keburukan de­ngan setan.

Sesungguhnya yang paling lemah dari segala lintasan keburukan adalah setan, yang paling berat dari segala lin­tasan keburukan adalah lintasan nafsu, dan yang paling berbahaya dari segala lintasan keburukan adalah istidraj yang datang dari Allah SWT. Perbedaan an­tara yang paling berat dan yang paling berbahaya adalah dari segi cara untuk mengobatinya. Disebut paling berba­haya karena Allah SWT murka, sedang­kan yang satu lagi disebut paling berat karena membutuhkan kesungguhan yang nyata.

Penangkal Lintasan Nafsu
Para ulama mengatakan, nafsu itu ibarat hewan tunggangan. Hewan tung­gangan seketika akan melawan dan sukar dikendalikan. Keledai, misalnya, bila sedang sukar dikendalikan, akan berhenti di tengah jalan lalu engkau pun memukulnya. Tidak bergerak juga, eng­kau menariknya. Tidak bergerak juga, engkau mendorongnya. Tidak bergerak juga, sampai diseret tali kekangnya. Demikianlah keledai.

Nafsu amarah itu halnya seperti ke­ledai. Bedanya, keledai tidak tidak di­bebani kewajiban, sedangkan nafsu dibebani dengan kewajiban. Oleh sebab itulah, menempatkannya lebih sukar dan lebih sulit.
Previous
Next Post »