Pada saat engkau mendurhakai Yang Maha Mengatur dan Menjaga seluruh langit dan bumi, apakah engkau tidak merasakan takut sedikit pun terhadap-Nya?
Nafsu amarah itu halnya seperti keledai. Bedanya, keledai tidak dibebani kewajiban, sedangkan nafsu dibebani kewajiban. Oleh sebab itulah menempatkannya lebih sukar dan lebih sulit. Terkadang nafsu itu bersikeras dan angkuh terhadap apa yang diinginkannya.
Orang-orang yang ahli menjinakkan hewan tunggangan mengetahui bahwa hewan tunggangan yang sukar dikendalikan dan sering kali berbuat semaunya sendiri akan dapat dijinakkan dengan dua perkara.
Pertama, makanannya dikurangi. Dan yang kedua, pekerjaan diperbanyak. Bila makanannya dikurangi, berkurang pula kekuatannya. Dan bila diberi pekerjaan yang banyak, ia akan merasa terbebani. Bila sudah merasa terbebani, ia pun akan tunduk dan terlatih.
Demikianlah nafsu amarah itu. Karenanya, sedikitkanlah makanannya. Makanan apa yang dapat memperkuat nafsu? Nasi, daging, roti, lemak, ikan, dan sebagainya adalah makanan yang akan menambah kekuatan bagi nafsu.
Tahapan Mengurangi Makanan
Pertama, beranjaklah dari hadapan hidangan meskipun nafsumu masih sangat menginginkannya. Namun, hal itu bukanlah berarti engkau raup makanan di hadapanmu ke dalam piring lalu engkau campakkan ke dalam tempat sampah. Tidak demikian halnya, karena tidak dibolehkan mencampakkan nikmat pada yang bukan menjadi tempatnya. Yang benar, tinggalkanlah hidangan yang masih tersedia meskipun masih ingin menyantapnya. Tinggalkanlah karena Allah.
Bagaimana meninggalkannya karena Allah? “Kita adalah umat yang tidak makan sebelum lapar dan jika makan tidak sampai kenyang.” Yakni, kita meninggalkan hidangan sekalipun nafsu kita masih menghendakinya.
Kedua, berlatih melalui puasa. Puasalah Senin dan Kamis. Atau, bila dapat melakukannya, puasalah juga tiga hari pada tiap-tiap pertengahan bulan di hari-hari al-Bidh (tanggal 13,14, dan 15). Setelah mampu melakukan puasa Senin-Kamis, tambah lagi dengan tiga hari pada hari-hari al-Bidh. Kuat lagi, cobalah sewaktu-waktu untuk melakukan puasa Dawud, di saat memiliki semangat untuk melakukannya.
Berpuasalah dengan puasa yang hakiki. Jangan engkau berpuasa dari fajar hingga maghrib namun di saat berbuka engkau lahap semua makanan yang ada sepuas-puasnya. Puasa yang hakiki adalah puasa yang pada saat berbuka engkau menyantap hidangan sewajarnya.
Mengurangi makan dan mengurangi keinginan pada saat-saat mujahadah akan memberikan kekuatan bagi jiwa. Bahkan pengetahuan modern pun telah membuktikan hal itu. Namun, apakah kita perlu untuk mengatakan “Hal itu dinyatakan oleh pengetahuan modern” untuk kemudian kita melakukannya? Atau kita cukup untuk meyakini petunjuk Nabi SAW melalui lisannya yang mulia. Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Ketiga, mengurangi makan disertai dengan kesungguhan. Setiap kali nafsu kita cenderung kepada lintasan keburukan, katakanlah dalam hatimu, “Malam ini engkau harus melakukan qiyamul lail (shalat malam). Engkau harus membaca surah Al-Baqarah pada dua rakaat atau pada sebelas rakaat Witir. Dan pagi-pagi sekali engkau harus siap untuk melakukan tugas sebagaimana mestinya.”
Tidaklah mesti sepanjang malam. Melainkan satu jam atau mungkin setengah jam.
“Aku hidupkan malamku, namun esok hari harus tetap menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh.”
Lakukan semua itu dibarengi dengan puasa dan sedikit makan di saat berbuka. Cobalah tiga hal tersebut selama empat hari terhadap nafsumu dan lihatlah bagaimana nafsumu akan langsung tunduk karenanya.
Mungkin seseorang di antara kalian melihat upaya penjinakan kuda liar di televisi, misalkan. Apa yang dilakukan oleh kuda yang belum jinak? Ia berusaha melemparkan sang penunggangnya dari atas punggungnya.
Demikian pula nafsumu dalam perjalanan menuju Allah SWT. Nafsumu akan berusaha melemparkanmu dari atas punggungnya agar engkau berpaling dari berjalan menuju Allah SWT.
Membuatmu berpaling dari berjalan menuju Allah adalah sesuatu yang mudah bagi nafsu pada awalnya. Tetapi coba perhatikan, apa yang dilakukan seorang pawang kuda? Ia akan terus berusaha untuk menjinakkan kudanya. Bila terjatuh dari kudanya, apakah ia merasa cukup begitu saja lalu berkata “Kuda ini tidak cocok untuk tunggangan”, atau ia mencobanya lagi untuk kedua kalinya?
Bila ia cukup sampai di sana, kuda itu tidak akan pernah dapat dijinakkan. Namun bila ia mencobanya lagi, menungganginya dan menjinakkannya untuk kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, coba perhatikan apa yang terjadi pada kudanya itu. Kuda itu pun mulai tenang, mulai tunduk, sampai akhirnya dapat dijinakkan. Maka demikian pula halnya nafsumu.
Itulah sebabnya, bila engkau telah menyadari bahwa lintasan buruk itu datangnya dari nafsu dalam dirimu, obat penangkalnya adalah mengurangi makan dan memperbanyak melakukan tugas-tugas yang bermanfaat.
Penangkal Istidraj
Bila lintasan keburukan datang setelah engkau melakukan suatu maksiat, penangkalnya adalah taubat dan segera kembali kepada Allah SWT.
Engkau sungguh telah melakukan adab yang buruk terhadap Allah dengan engkau berbuat maksiat, dan lebih buruk lagi bahwa engkau tidak merasa bersalah setelah melakukan maksiat kepada-Nya. Engkau melakukan maksiat kepada-Nya kemudian engkau tertawa.
Wahai saudaraku, coba kita renungkan, andaikan seseorang di antara kita melanggar rambu lalu lintas kemudian menyadari bahwa polisi lalu lintas menyaksikan pelanggaran itu, atau kamera pengontrol telah merekam kendaraannya, apakah di dalam hatinya tidak ada perasaan takut dan resah ketika ia sadar bahwa ia akan berhadapan dengan polisi lalu lintas?
Pada saat engkau mendurhakai Yang Maha Mengatur dan Menjaga seluruh langit dan bumi, apakah engkau tidak merasakan takut sedikit pun terhadap-Nya?
Sebagian shalihin, bila berbuat sedikit saja kesalahan, merasa sangat takut bila petir akan menyambar mereka, atau bumi menelan mereka. Bukan karena Allah tidak berbelas kasih. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Akan tetapi karena begitu agungnya hak Allah di dalam hati mereka.
Seseorang yang berbuat maksiat dan tidak merasakan apa pun di dalam hatinya, berarti orang ini merendahkan keagungan Yang Maha Melihatnya, Allah SWT. Itulah sebabnya, bila seseorang berbuat maksiat dan menganggapnya remeh, niscaya lintasan-lintasan kemaksiatan dan kedurhakaan lainnya akan dilemparkan ke dalam hatinya untuk kedurhakaan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, hingga, wal-‘iyadzu billah, ia mati dalam keadaan kafir bila ia tidak menyadarinya. Itulah istidraj dari Allah SWT.
Jika seseorang telah menyadari bahwa lintasan keburukan datangnya setelah suatu kedurhakan yang ia tidak segera bertaubat darinya, penangkalnya adalah segera kembali kepada Allah SWT.
“Aku memohon ampun kepada-Mu. Ampunilah aku, ya Allah, ampunilah aku dan berikanlah kepadaku taubat.”
Berdirilah dan lakukanlah shalat sunnah dua rakaat Taubat dan berdoalah, “Ya Allah, hamba-Mu ini ingin kembali kepada-Mu. Wahai Tuhanku, janganlah engkau timpakan fitnah kepadaku di dalam agamaku. Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku kepada-Mu dengan pengembalian yang indah.”
Setelah itu lihatlah hatimu, niscaya engkau akan melihat bahwa lintasan buruk itu telah hilang dari dalam hatimu.
Bersambung ke: Penangkal Lintasan Buruk (bagian 2)
Bersambung ke: Penangkal Lintasan Buruk (bagian 2)