Penangkal Lintasan Buruk (1)

Pada saat engkau mendurhakai Yang Maha Mengatur dan Menjaga seluruh langit dan bumi, apakah engkau tidak merasakan takut sedikit pun terhadap-Nya?

Nafsu amarah itu halnya seperti keledai. Bedanya, keledai tidak dibebani kewajiban, sedangkan naf­su dibebani kewajiban. Oleh sebab itulah menempatkannya lebih su­kar dan lebih sulit. Terkadang nafsu itu bersikeras dan angkuh terhadap apa yang diingin­kan­nya.

Orang-orang yang ahli menjinakkan hewan tunggangan mengetahui bahwa hewan tunggangan yang sukar diken­dali­kan dan sering kali berbuat semau­nya sendiri akan dapat dijinakkan de­ngan dua perkara.

Pertama, makanannya dikurangi. Dan yang kedua, pekerjaan diper­ba­nyak. Bila makanannya dikurangi, berkurang pula kekuatannya. Dan bila diberi peker­jaan yang banyak, ia akan merasa ter­bebani. Bila sudah merasa terbebani, ia pun akan tunduk dan ter­latih.

Demikianlah nafsu amarah itu. Kare­nanya, sedikitkanlah makanannya. Makanan apa yang dapat memperkuat nafsu? Nasi, daging, roti, lemak, ikan, dan se­bagainya adalah makanan yang akan menambah kekuatan bagi nafsu.

Tahapan Mengurangi Makanan
Pertama, beranjaklah dari hadapan hi­dangan meskipun nafsumu masih sa­ngat menginginkannya. Namun, hal itu bukanlah berarti engkau raup makanan di hadapanmu ke dalam piring lalu eng­kau campakkan ke dalam tempat sam­pah. Tidak demikian halnya, karena tidak dibolehkan mencampakkan nikmat pada yang bukan menjadi tempatnya. Yang be­nar, tinggalkanlah hidangan yang masih tersedia meskipun masih ingin menyan­tapnya. Tinggalkanlah karena Allah.

Bagaimana meninggalkannya kare­na Allah? “Kita adalah umat yang tidak makan sebelum lapar dan jika makan tidak sampai kenyang.” Yakni, kita me­ninggalkan hidangan sekalipun nafsu kita masih menghendakinya.

Kedua, berlatih melalui puasa. Puasa­lah Senin dan Kamis. Atau, bila da­pat me­lakukannya, puasalah juga tiga hari pada tiap-tiap pertengahan bulan di hari-hari al-Bidh (tanggal 13,14, dan 15). Setelah mam­pu melakukan puasa Se­nin-Kamis, tam­bah lagi dengan tiga hari pada hari-hari al-Bidh. Kuat lagi, cobalah sewaktu-wak­tu untuk melakukan puasa Dawud, di saat memiliki semangat untuk melakukannya.

Berpuasalah dengan puasa yang hakiki. Jangan engkau berpuasa dari fajar hingga maghrib namun di saat ber­buka engkau lahap semua makanan yang ada sepuas-puasnya. Puasa yang hakiki ada­lah puasa yang pada saat berbuka eng­kau menyantap hidangan sewajarnya.

Mengurangi makan dan mengurangi keinginan pada saat-saat mujahadah akan memberikan kekuatan bagi jiwa. Bahkan pengetahuan modern pun telah membukti­kan hal itu. Namun, apakah kita perlu untuk mengatakan “Hal itu dinyata­kan oleh pengetahuan modern” untuk kemudian kita melakukannya? Atau kita cukup untuk meyakini petunjuk Nabi SAW melalui lisannya yang mulia. Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Nabi SAW.

Ketiga, mengurangi makan disertai dengan kesungguhan. Setiap kali nafsu kita cenderung kepada lintasan keburuk­an, katakanlah dalam hatimu, “Malam ini engkau harus melakukan qiyamul lail (sha­lat malam). Engkau harus membaca surah Al-Baqarah pada dua rakaat atau pada sebelas rakaat Witir. Dan pagi-pagi sekali engkau harus siap untuk melaku­kan tugas sebagaimana mestinya.”

Tidaklah mesti sepanjang malam. Me­lainkan satu jam atau mungkin se­tengah jam.

“Aku hidupkan malamku, namun esok hari harus tetap menjalankan tugas de­ngan sungguh-sungguh.”

Lakukan semua itu dibarengi dengan puasa dan sedikit makan di saat ber­buka.  Cobalah tiga hal tersebut selama empat hari terhadap nafsumu dan lihat­lah bagai­mana nafsumu akan langsung tunduk karenanya.

Mungkin seseorang di antara kalian melihat upaya penjinakan kuda liar di televisi, misalkan. Apa yang dilakukan oleh kuda yang belum jinak? Ia berusaha melemparkan sang penunggangnya dari atas punggungnya.

Demikian pula nafsumu dalam perja­lanan menuju Allah SWT. Nafsumu akan berusaha melemparkanmu dari atas punggungnya agar engkau berpaling dari berjalan menuju Allah SWT.

Membuatmu berpaling dari berjalan menuju Allah adalah sesuatu yang mu­dah bagi nafsu pada awalnya. Tetapi coba perhatikan, apa yang dilakukan se­orang pawang kuda? Ia akan terus ber­usaha untuk menjinakkan kudanya. Bila terjatuh dari kudanya, apakah ia merasa cukup begitu saja lalu berkata “Kuda ini tidak cocok untuk tunggangan”, atau ia mencobanya lagi untuk kedua kalinya?

Bila ia cukup sampai di sana, kuda itu tidak akan pernah dapat dijinakkan. Namun bila ia mencobanya lagi, me­nungganginya dan menjinakkannya un­tuk kedua, ketiga, keempat, dan seterus­nya, coba perhatikan apa yang terjadi pada kudanya itu. Kuda itu pun mulai tenang, mulai tunduk, sampai akhirnya dapat dijinakkan. Maka demikian pula halnya nafsumu.

Itulah sebabnya, bila engkau telah menyadari bahwa lintasan buruk itu da­tangnya dari nafsu dalam dirimu, obat penangkalnya adalah mengurangi makan dan memperbanyak melakukan tugas-tugas yang bermanfaat.

Penangkal Istidraj
Bila lintasan keburukan datang se­telah engkau melakukan suatu maksiat, penangkalnya adalah taubat dan segera kembali kepada Allah SWT.

Engkau sungguh telah melakukan adab yang buruk terhadap Allah dengan engkau berbuat maksiat, dan lebih buruk lagi bahwa engkau tidak merasa ber­salah setelah melakukan maksiat ke­pada-Nya. Engkau melakukan maksiat kepada-Nya kemudian engkau tertawa.

Wahai saudaraku, coba kita renung­kan, andaikan seseorang di antara kita melanggar rambu lalu lintas kemudian menyadari bahwa polisi lalu lintas menyaksikan pelanggaran itu, atau ka­mera pengontrol telah merekam kenda­raannya, apakah di dalam hatinya tidak ada perasaan takut dan resah ketika ia sadar bahwa ia akan berhadapan de­ngan polisi lalu lintas?

Pada saat engkau mendurhakai Yang Maha Mengatur dan Menjaga seluruh langit dan bumi, apakah engkau tidak merasakan takut sedikit pun terhadap-Nya?

Sebagian shalihin, bila berbuat se­dikit saja kesalahan, merasa sangat takut bila petir akan menyambar mereka, atau bumi menelan mereka. Bukan ka­rena Allah tidak berbelas kasih. Sesung­guhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Akan tetapi karena begitu agungnya hak Allah di dalam hati mereka.

Seseorang yang berbuat maksiat dan tidak merasakan apa pun di dalam hati­nya, berarti orang ini merendahkan ke­agungan Yang Maha Melihatnya, Allah SWT. Itulah sebabnya, bila sese­orang berbuat maksiat dan mengang­gap­nya remeh, niscaya lintasan-lintasan kemak­siatan dan kedurhakaan lainnya akan di­lemparkan ke dalam hatinya untuk kedur­hakaan kedua, ketiga, ke­empat, dan se­terusnya, hingga, wal-‘iyadzu billah, ia mati dalam keadaan kafir bila ia tidak menyadarinya. Itulah istidraj dari Allah SWT.

Jika seseorang telah menyadari bah­wa lintasan keburukan datangnya setelah suatu kedurhakan yang ia tidak segera bertaubat darinya, penangkalnya adalah segera kembali kepada Allah SWT.

“Aku memohon ampun kepada-Mu. Ampunilah aku, ya Allah, ampunilah aku dan berikanlah kepadaku taubat.”

Berdirilah dan lakukanlah shalat sun­nah dua rakaat Taubat dan berdoa­lah, “Ya Allah, hamba-Mu ini ingin kem­bali ke­pada-Mu. Wahai Tuhanku, ja­ngan­lah eng­kau timpakan fitnah kepa­daku di da­lam agamaku. Wahai Tuhan­ku, kembali­kanlah aku kepada-Mu de­ngan pengem­balian yang indah.”

Setelah itu lihatlah hatimu, niscaya engkau akan melihat bahwa lintasan buruk itu telah hilang dari dalam hatimu.

Bersambung ke: Penangkal Lintasan Buruk (bagian 2)
Previous
Next Post »