Jendela Bathin

Ketahuilah, bila engkau relakan hatimu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lintasan-lintasan baik ataupun buruk dalam bentuk apa pun, engkau tidak akan pernah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lamanya.

Setelah engkau pelihara jendela-jendela lahir yang dapat mencemari hati, baik pada siang maupun malam hari, selanjutnya terdapat jendela-jendela lain yang perlu mendapat perhatian kita. Jendela-jendela yang sesungguhnya mem­pengaruhi mata dalam memandang, telinga dalam mendengar, dan lidah da­lam bertutur kata. Jendela-jendela itu ada­lah jendela bathin, sebagaimana telah disinggung pada penjelasan yang lalu.

Para ulama suluk menyebut jendela-jendela bathin ini dengan nama al-kha­wathir, yakni lintasan-lintasan yang muncul di dalam hati. Jendela jenis ini tidak dapat diindra, dan tidak pula berupa materi.

Setiap bentuk ketaatan yang disukai Allah SWT yang telah mewujud dalam ben­tuk perbuatan tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati. Ter­lintas ketaatan di dalam hatimu lalu eng­kau melakukannya. Demikian pula setiap maksiat yang dimurkai Allah yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan, itu pun tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati.

Dosa-dosa besar, kefasikan, kedur­haka­an, aniaya, dan semua kezhaliman yang banyak dilakukan banyak manusia, dari manakah asalnya? Asal semua itu adalah lintasan-lintasan yang ada di da­lam hati lalu mereka memenuhi panggilan lintasan-lintasan itu. Lintasan-lintasan itu adalah jendela-jendela bathin hati yang datang kepada hati dari dalam dirinya sendiri. Dan jendela-jendela ini memiliki empat sumber:

Pertama, dari an-nafs (nafsu) yang disebut al-hawa (hasrat atau keinginan). Lintasan yang bersumber dari nafsu disebut “hawa nafsu”. Di tengah kemarau yang terik, misalkan, engkau tengah ber­puasa fardhu. Di saat yang sama engkau melihat air yang sejuk dan dingin. Apa yang diinginkan oleh nafsumu? Tentu eng­kau ingin meneguk air itu. Dari mana da­tangnya lintasan itu? Lintasan itu da­tang dari nafsu, dari kebutuhan nafsu, dari keinginan nafsu.

Seseorang dengan serta merta me­ngejekmu dengan ejekan yang menyakit­kan, tentu engkau ingin segera menam­parnya. Datang lintasan kepadamu untuk menamparnya. Dari mana lintasan untuk me­nampar itu datang? Lintasan itu da­tang dari nafsu, dari keinginan nafsu, dari perbuatan nafsu.

Kedua, dari setan, sebagaimana da­lam hadits, “Setan itu memberikan bisikan kepada hati anak Adam. Bila ia berdzikir kepada Allah, setan akan menangguh­kan­nya. Namun bila ia lupa dari berdzikir ke­pada Allah, setan pun akan kembali membisikinya.”

Lintasan yang bersumber dari setan ini dinamakan al-waswas (bisikan), se­bagaimana dalam firman Allah SWT, “Dari kejahatan waswasil khannas (bisik­an setan yang biasa bersembunyi).” – QS An-Nas (114): 4.

Ketiga, dari malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang di­keluarkan oleh Imam As-Suyuthi dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesung­guh­nya setan memiliki bisikan kepada anak adam, dan sesungguhnya malaikat pun memiliki bisikan pula. Adapun bisikan setan adalah mendatangkan keburukan dan pengingkaran terhadap kebenaran, se­dang bisikan malaikat adalah menda­tangkan kebaikan dan pengakuan terha­dap kebenaran. Oleh karena itu barang siapa mendapatkan bisikan semacam itu (kebaikan), ketahuilah, sesungguhnya itu datangnya dari Allah, maka pujilah Allah; dan barang siapa mendapatkan bisikan selain dari itu (keburukan), memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan.”

Dari dasar ini, para ulama kemudian menamakan bisikan setan dengan nama waswasah dan bisikan malaikat dengan nama lummatul malak.

Keempat, dari al-khawathir (lintasan-lintasan) yang datang langsung dari sisi Allah SWT yang ditanamkan ke dalam hati.

Semua lintasan itu memang secara hakikat datang dari Allah SWT, baik se­bagai musibah maupun anugerah, baik sebagai ujian maupun karunia. Namun di luar sumber-sumber yang telah dise­butkan terdapat lintasan-lintasan yang Allah SWT tanamkan secara langsung ke dalam hati seorang hamba mukmin dari sisi kemahatinggian-Nya.

Lintasan semacam ini para ulama me­nyebutnya “ilham”, sebagaimana fir­man Allah SWT, “Dan demi jiwa serta pe­nyempurnaannya, Allah meng­il­ham­kan ke­pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ke­taqwaannya.” – QS Asy-Syams (91): 7-8.

Lintasan-lintasan yang ada dalam hati seorang salik sangatlah banyak, bahkan di hati setiap insan di atas muka bumi ini. Bila engkau mencoba untuk mengontrol satu lintasan yang datang di dalam hatimu dalam satu waktu, perhatikanlah, berapa lintasan yang akan datang pada saat itu juga di dalam hatimu?

Di saat engkau merasakan haus, da­tanglah lintasan di dalam hatimu, “Pergi­lah dan minumlah!” Lalu datang lagi lin­tasan yang lain, “Tetapi aku harus buru-buru, sudah janji Fulan akan datang, aku harus segera menyambutnya.” Datang lagi lintasan yang lain, “Wah, kok aku bisa lupa dengan acara anu… semua di tem­patku lagi?” Dan demikian seterusnya, da­tang silih-berganti berbagai macam rupa lintasan dalam hatimu, sampai-sam­pai seorang ahli pendidikan pernah me­ngatakan, dalam sehari semalam lebih dari 70.000 lintasan datang ke dalam hati seorang manusia.

Hal yang penting bagi seorang salik menuju Allah dalam memelihara hatinya adalah bagaimana ia mampu menda­tangkan lintasan-lintasan kebaikan, men­dengarkannya dengan seksama, dan ke­mudian memenuhinya, dan bagaimana agar ia mampu berpaling dari lintasan-lin­tasan keburukan dan menanggalkan­nya. Dengan melakukan hal tersebut, insya Allah engkau akan dapat mema­hami berbagai hakikat yang dapat me­nimbulkan dan mendatangkan dorongan-dorongan untuk semakin dekat kepada Allah SWT.

Lintasan-lintasan yang datangnya dari sumber kebaikan akan memperluas pe­mahaman dan pandangan hati terha­dap kebaikan dan selanjutnya ia pun menghendaki kebaikan. Lintasan-lintasan yang membawa bisikan keburukan, bila engkau tidak menghentikannya dari hati­mu, bila engkau tidak mengobatinya, bila engkau tidak bersungguh-sungguh dalam mengekangnya, dan bila engkau tidak men­jaga hatimu dari semua itu dan tidak pula membentenginya, akan terus-mene­rus melakukan serangan-serangan ter­hadap hati dan memperdayanya untuk berbuat keburukan.

Sebuah Renungan
Selanjutnya mari kita merenung ber­sama. Kita renungkan bagaiamana be­sarnya pengaruh lintasan-lintasan itu ter­hadap hati. Coba kita perhatikan keadaan kita pada hari ini.

Di zaman sekarang ini, sejak dini hari seseorang telah disibukkan dengan ber­bagai aktivitas. Sejak pagi, seseorang te­lah bergelut dengan berbagai kesibukan, dari kemacetan lalu lintas, tugas kantor, tu­gas seminar, tugas kuliah, urusan pri­badi, janji dengan relasi, berhadapan de­ngan klien, dan sebagainya. Datang wak­tu malam, ia pun telah lelah, karena se­harian bekerja dan beraktivitas. Tanpa di­sadari, kehidupannya terus berjalan be­gitu cepatnya. Hari berganti hari, bulan ber­ganti bulan, dan tahun pun telah ber­ganti tahun.

Kenyataan yang dilakukannya seba­gai rutinitas tanpa disadari telah mengam­bil bagian demi bagian dari dirinya. Ia bangun di waktu pagi dan kembali ke pem­baringan di malam hari tanpa menge­tahui bagaimana semestinya memelihara dirinya. Tidak siang dan tidak pula malam.

Kita lihat sebagian pemuda. Mereka tengah asyik tertidur, tidak tahu ke mana me­reka akan pergi. Di jalanan, asyik-masyuk mendengarkan musik kegemar­annya, dari satu lagu kepada lagu beri­kutnya. Mereka sibuk, lalu kapan mereka ber­pikir? Kapan duduk untuk merenungi masa yang akan datang dari kehidup­annya?

Dalam pembahasan ini, kita tidak se­dang berbicara tentang haramnya men­de­ngarkan lagu-lagu tertentu. Yang men­jadi pembicaraan kita adalah bagaima seseorang telah menceburkan dirinya ke dalam putaran roda kehidupan dengan cara semacam itu pada sepanjang waktu­nya, dari satu aktivitas kepada aktivitas lainnya, dari satu kesibukan kepada ke­sibukan berikutnya. Inilah permasalahan sesungguhnya. Sebab, mungkin saja se­seorang mendengarkan satu lagu yang indah dengan syair-syair yang meng­gu­gah hati untuk semakin mendekatkan diri­nya kepada Allah, atau paling tidak mem­bantunya dalam menjalani rutinitasnya. Ini bukanlah masalah.

Namun bila hidup seseorang telah ter­patri pada situasi dan kenyataan sema­cam itu, meskipun dengan berbagai rupa aktivitasnya, bahkan lebih dari itu, andai­kan yang didengarkannya bukanlah lagu-lagu yang haram dan tidak pula diperse­lisihkan hukumnya sekalipun, dan bahkan misalkan seseorang menghabiskan se­mua waktunya untuk berbagai macam ke­sibukan hingga tidak menemukan waktu untuk memikirkan lintasan-lintasan yang datang dalam hatinya, inilah masalahnya.

Lalu apa yang dituntut? Yang dituntut adalah bagaimana seseorang dapat pin­dah dari kehidupan yang telah dijalaninya semacam itu, yakni bagaimana kenyata­an yang selama ini telah melingkupi diri­nya dapat mengingatkan kepada kehi­dupan yang lain, yakni kehidupan akhirat.

Coba tengoklah sedikit ke belakang dan lihatlah kenyataan yang sekarang kita jalani. Yang penting bagi kita, selama kita berjalan menuju Allah, katakanlah, “Aku tidak rela bila harus terbawa arus ke­hidupan. Aku akan melaksanakan ke­wajibanku dengan sebaik mungkin. Bila aku seorang siswa, aku akan menjadi sis­wa yang berprestasi tinggi, namun bukan karena apa-apa, melainkan karena aku memiliki tujuan dari prestasi yang tinggi itu, yakni taqarub kepada Allah. Bila aku seorang pedagang, aku harus menjadi pe­dagang yang terbaik, karena aku me­miliki tujuan, dan tujuanku adalah taqarub kepada Allah. Bila aku seorang arsitek, se­orang pegawai, dan lain-lain, akan hi­dup bersama di tengah-tengah masyara­kat, tetapi hatiku bersama Allah.”

Makna “hatiku bersama Allah” yakni menghilangkan segala lintasan keburuk­an yang datang kepada hati.

Untuk itulah kita butuh suatu keingin­an setelah memahami pelajaran ini. Kata­kan, “Tidak akan pernah kubiarkan da­tang, pada siang ataupun malam hari, lintasan ke dalam hatiku seperti itu selain aku mempunyai tujuan.”

Ketahuilah, bila engkau relakan hati­mu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lin­tasan-lintasan baik ataupun buruk dalam ben­tuk apa pun, engkau tidak akan per­nah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lama­nya.

Seseorang pernah mengadu, ia ber­kata, “Aku telah hadir ke berbagai majelis semacam ini, mataku pun terkadang me­nangis dan hatiku luluh karena rindu un­tuk datang kepada Allah SWT, dan aku ber­tekad untuk istiqamah setelah itu. Na­mun setelah dua-tiga hari, semua itu hi­lang dari diriku. Mengapa?”

Jawabnya, karena sesuatu yang men­jadikanmu kehilangan semua itu, itu juga yang telah membuatmu kembali ke­pada apa yang engkau telah bertaubat darinya (maksiat), membawamu kembali kepada kelalaian, dan yang juga melupa­kanmu kepada makna taraqqi (mengga­pai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT). Sesuatu itu adalah bahwa hatimu menjadi halaman yang terbuka untuk da­tang dan perginya berbagai rupa lintasan kebaikan dan keburukan. Engkau tidak me­miliki penyaring yang dapat membiar­kan masuknya lintasan yang baik dan men­cegah datangnya lintasan-lintasan yang buruk.

Setelah memahami pelajaran ini, yang harus kita lakukan adalah bersung­guh-sungguh dalam mengontrol lintasan-lintasan di dalam hati kita dengan jalan menerima lintasan kebaikan dan menolak atau berpaling dari lintasan keburukan.

Perpindahan yang Berbeda
Apa yang akan engkau lakukan bila lintasan itu telah berlalu, berubah menjadi pemahaman, dan kemudian menjadi per­buatan? Engkau telah melakukan suatu per­buatan yang engkau sendiri tidak ingin untuk melakukannya?

Bila itu terjadi, duduklah dan renung­kanlah bagaiamana engkau sampai ke­pada hal itu.

“Aku bersalah kepada si Fulan dalam ucapan karena aku merelakan diriku ikut ber­­­samanya dalam satu perbincangan yang semestinya aku tidak ikut di da­lamnya.”

Mengapa? “Karena aku menerima lin­tasan yang ada dalam hatiku. Lintasan itu berkata, ‘Aku harus meluruskannya, aku lebih hebat dalam pemahaman, dan aku lebih hebat dalam berdebat’.”

Bila engkau sudah mulai membingkai dirimu dengan rangkaian perenungan se­macam ini di dalam mengontrol lintasan-lintasan hati, yakni engkau meyakinkan ke­pada dirimu bahwa engkau memiliki ba­nyak lintasan hati yang perlu untuk di­kontrol, setelah itu engkau akan dapat me­nerima untuk memahami berbagai tim­­bangan untuk mengukur lintasan-lin­tasan tersebut sebagai wujud dari mu­jahadatun nafs (pergulatan hati), yang diba­rengi dengan penyandaran diri ke­pada Allah SWT serta berserah diri ke­pada-Nya. Sehingga, niscaya engkau akan melihat dirimu akan berpindah-pin­dah dalam kehidupanmu dengan per­pindah­an yang berbeda dari sebelumnya. Eng­kau akan berpindah dari keadaaan se­orang manusia yang berjalan dengan lintasan-lintasan yang mengarahkannya ke mana pun, dan bagaimana pun ben­tuknya, kepada keadaan seorang muk­min yang mampu mengendalikan dan mengarahkan lintasan-lintasan hatinya bagaimana seharusnya berjalan.

Semoga Allah mengaruniai kita se­mua sebaik-baik langkah dalam mengha­dapi lintasan-lintasan yang datang ke dalm hati.
Previous
Next Post »