Mereka Diharamkan Mengambil Ghanimah

Mereka Diharamkan Mengambil Ghanimah (Rampasan Perang)

Dahulu, apabila berhasil mengalahkan musuh dalam suatu peperang­an dan beroleh harta jarahan perang, mereka diharamkan mengambil atau menerima bagian apa pun dari harta rampasan itu. Mereka harus mengumpulkan semuanya itu di suatu tempat untuk kemudian dimus­nahkan dengan api (QS. Alu ‘Imran: 183).

Sebaliknya bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT mengha­lalkan harta ghanimah bagi mereka, karena kemuliaan Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang memimpin mereka. Bagi umat beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, harta ghanimah halal dan barakah. Demikian ditegaskan dalam hadits sahih muttafaq ‘alaihi, dan dinyatakan di dalam Alquran Al-Karim:

فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا

” Maka makanlah dari sebagian harta rampasan perang yang kalian per­oleh itu sebagai makananyang halal dan baik.” (QS. Al-Anfal: 69)

Mereka Diharamkan Sembahyang Kecuali di Tempat-tempat Khusus

Umat-umat zaman dahulu—termasuk Bani Israil—tidak bersembah­yang kecuali di tempat-tempat khusus, seperti di dalam biara-biara, kuil-kuil dan sebagainya. Siapa yang tidak dapat hadir di tempat-tem­pat tersebut, ia tidak dibolehkan sembahyang di tempat lain, di mana saja di muka bumi. Bila ia sudah tiba kembali di tempat semula, ia harus meng-qadhd semua sembahyang yang tertinggalkan (yang terle­wat selama dalam perjalanan atau bepergian). (Al-Fath: 1/436).

Menurut Al-Bazzar, hadits berasal dari Ibnu ‘Abbas menuturkan, “Tidak seorang pun dari para Nabi yang bersembahyang sebelum tiba di mihrabnya.” (Al-Fath: 1/438).

Lain halnya bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Bagi mereka Allah SWT menjadikan muka bumi ini sebagai tempat untuk menunaikan salat. Tidak ditentukan tempat khusus untuk menunaikan salat, atau dilarang salat di tempat lain. Demikian di dalam Shahih Bukhari (Al-Bukhori: Bab Tayamum).

Mereka Diwajibkan Menggunakan Air dalam Bersuci

Umat-umat zaman dahulu diwajibkan oleh syariatnya masing-masing harus menggunakan air dalam bersuci, tidak boleh digunakan selain air. Bila air tak dapat ditemukan, orang tidak bersembahyang, kemu­dian ia harus meng-qadhd’ semua sembahyang yang terlewat bila sudah menemukan.air untuk bersuci.

Bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidaklah demikian. Allah SWT menjadikan bumi ini suci. Manakala orang hendak menunaikan salat dan ia tidak dapat menemukan air, ia boleh menggunakan tanah un­tuk bersesuci (tayamum). Demikian ditegaskan dalam Hadits Shahih. (Al-Al-Fath: 1/438 dan Al-Mawahib: V/264).

Dimuliakan dengan Rahmat Khusus

Di antara berbagai kekhususan yang ada pada umat ini (umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) ialah, mereka dimuliakan Allah SWT dengan rah­mat khusus. Hal itu terdapat di dalam Alquran Al-Karim.

Alquran Al-Karim menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam terbagi menjadi tiga golongan. Golongan as-Sdoiaun (yakni orang-orang yang terdahulu di dalam kebajikan) adalah yang terdini memeluk Islam. Golongan muatashid (yang sedang-sedang), yaitu golongan ldhiq (menyu­sul kemudian). Yang ketiga adalah golongan dzdlimun linafsihi (yang me­nganiaya diri sendiri). Golongan ini akan beroleh ampunan Ilahi. Me­ngenai semuanya itu Allah SWT berfirman di dalam Alquran:

ثم اورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات باذن الله ذالك هوالفضل الكبير . جنات عدن يدخلونها يحلون فيها من اساور من ذهب ولؤلؤا ولباسهم فيها حرير . وقالوا الحمدلله الذي أذهب عنا الحزن ان ربنا لغفور شكور . الذي احلنا دار المقامة من فضله لا يمسنا فيها نصب ولا يمسنا فيها لغوب

Kemudian Kitab (suci) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang meng­aniaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan (sedang-sedang), dan ada pula mereka yang telah berbuat kebaikan (sebanyak-banyaknya) de­ngan seizin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka (ini) surga ‘Adn. Mereka masuk ke dalamnya. Mereka dibe­ri perhiasan berupa gelang-gelang emas dan mutiara. Pakaian mereka di dalam surga adalah sutera. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguhlah bahwa Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (Syakur), Yang menempatkan kami di dalam tempat yang kekal (surga) sebagai karunia-Nya. Di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.” (QS. Fathir: 32-35).

Maknanya adalah, bahwa Allah Yang Mahabenar (Al-Haq) memba­gi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjadi tiga bagian (golongan):

Pertama, golongan ini yang dimaksud dengan firman-Nya “mereka yang menganiaya diri sendiri” (dzdlimun linafsihi), yaitu orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menunaikan beberapa kewajiban dan menerjang beberapa larangan. Yaitu orang-orang yang pada dirinya bercampur kebajikan dan keburukan.

Kedua, golongan yang disebut muatashid, yaitu orang-orang yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Ada kalanya mereka meninggalkan hal-hal yang sunnah (mustahabbat) dan berbuat hal-hal yang tidak disukai Allah SWT (makruhdt).

Ketiga, yang disebut sabiaun bil-khairat, yaitu orang-orang yang me­nunaikan kewajiban, meninggalkan semua yang diharamkan, bahkan meninggalkan juga beberapa hal yang mubah (yang boleh dilakukan).

Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan, “As-sabiqu bil-khairdt (golongan keti­ga) masuk surga tanpa melalui perhitungan (bighairi hisab). Al-muqtashid (golongan kedua) masuk surga dengan rahmat Allah SWT, sedangkan Adz-dzdlimu linafsihi (golongan pertama) masuk surga dengan syafaat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam”

Demikianlah menurut riwayat yang dituturkan oleh sejumlah kaum Salaf (kaum Muslimin yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam), yang kemudian diperkuat kebenarannya oleh hadits yang ber-is-nad baik dan kokoh. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (bin Hanbal) dengan isnad dari Abu Darda’ yang menu­turkan, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata, bahwa firman Allah SWT yang menyatakan: Kemudian Kitab (Suci) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan (se­dang-sedang), dan ada pula mereka yang berbuat kebajikan (sebanyak-ba­nyaknya) dengan seizin Allah; maksudnya adalah orang-orang sabiaun bil-khairdt, mereka itu masuk surga tanpa melalui perhitungan. Adapun orang-orang yang muatashid (pertengahan atau sedang-sedang), me­reka akan menghadapi perhitungan yang mudah (ringan). Sedangkan orang-orang yang menganiaya diri sendiri (dhalamu anfusahum), me­reka akan tertahan selama mahsyar berlangsung, kemudian mereka ber­oleh karunia rahmat. Mereka itulah yang kemudian mengucapkan’, “Alhamdulillah yang telah meniadakan kesedihan dari kami. Sungguhlah bahwa Tahan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (syakur).'” Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Menurut hemat kami, itulah yang sesuai dengan maksud ayat terse­but di atas. Orang yang dzalimun linafsihi (menganiaya diri sendiri) ia tertahan di mahsyar karena keadaannya (amal kebajikannya) lebih ren­dah nilainya dibanding dengan orang yang sabiq bil-khairdt dan orang yang muqtashid. Selama tertahan itu ia mengalami kesedihan, duka cita, dan kebingungan. Manakala telah beroleh rahmat dari Allah SWT, ia masuk surga. Ia teringat akan keadaan dirinya (kekurangan-kekurang­annya), kemudian berucap, “Alhamdulillah yang telah meniadakan kese­dihan dari kami.” Karena dalam ayat tersebut setelah Allah SWT menye­but tiga golongan manusia dan menyebut pula bahwa mereka masuk surga, sesudah itu Allah SWT menyebut juga bahwa mereka ini (orang-orang yang menganiaya diri sendiri) mengucapkan, “Alhamdulillahyang telah meniadakan kesedihan dari kami.”

Tidak dapat dibayangkan, bahwa orang yang sdbiq bil-khairdt atau orang yang muatashid mengalami kesedihan, sebab mereka tidak meng­hadapi hal-hal yang sangat menakutkan atau menyedihkan. Jadi, ha­nya golongan yang ketiga itulah (dzdlimun linafsihi) yang disebut meng­alami kesusahan dan kebingungan. Atas dasar penjelasan tersebut nya­talah bahwa umat ini (umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) adalah umat yang dirahmati Allah SWT (marhumah), sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin Al-Hanafiyyah r.a., bahwa umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memang marhumah, “Orang yang dzdlimun linafsihi beroleh ampunan, orang yang muatashid masuk surga, dan orang yang sdbiq bil-khairat ber­oleh derajat tinggi di surga.” Demikianlah yang dikatakan oleh Muham­mad bin Al-Hanafiyyah r.a., sebagaimana diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauriy dan lain-lain. Semuanya itu merupakan karunia Allah semata-mata bagi tiga golongan dalam umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Mereka masuk surga yang penuh kenikmatan menurut derajatnya masing-ma­sing. Hal itu membuktikan kemuliaan umat ini dalam pandangan Allah SWT, suatu kemuliaan yang tidak murah dan mudah didapat, karena sebelum itu Allah SWT menegaskan lebih dahulu, bahwa Dia memilih umat ini untuk mewarisi Kitab Suci dan mengamalkannya benar-be­nar. Mengenai itu firman Allah SWT menyatakan, “Kemudian Kami waris­kan Kitab Suci (Alquran) kepada orang-orang yang Kami pilih.” Konsekuensi dari perolehan karamah (kemuliaan) yang amat besar di akhirat nanti, umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memikul tanggungjawab yang sangat be­sar, karena ia telah dipilih untuk menerima warisan yang amat mulia itu. Warisan yang memikulkan berbagai kewajiban (takdlif) yang harus diindahkan dan ditunaikan.

Dengan demikian maka kemuliaan yang dikaruniakan Allah SWT kepada umat ini sesungguhnya adalah jasa (imbalan, balasan baik) yang dikaruniakan Allah SWT, bahkan kepada orang yang pernah berbuat keburukan. Juga sebagai jasa atas kesetiaan umat ini dalam menjaga baik-baik warisan yang diamanatkan kepadanya, yaitu Kitab Suci (Alqur-an) dan keterpilihannya sebagai umat yang dimuliakan Allah.

[Kekhususan Umat Nabi Muhammad SAW Bagian 3]

Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani

Previous
Next Post »