Ibadah yang Afdhal

Ibadah yang afdhal (paling utama) menurut kesepakatan para ahli ma‘rifah adalah berdzikir menyebut lafazh “Allah”. Karena itu, napas-napas yang keluar-ma­suk dari diri kita harus senantiasa dijaga, agar selalu disertai lafazh “Allah”. Masalah tersebut dikemukakan oleh pengarang dalam perkataannya berikut ini. Marilah kita simak apa yang dikata­kan oleh pengarang dan penjelasannya lebih lanjut yang diberikan oleh pen­syarah.

Pengarang mengatakan:
Telah bersepakat sebagian besar ahli ma‘rifat bahwa ibadah-ibadah ka­rena Allah Yang Mahaluhur yang paling utama adalah menjaga napas-napas, keadaan keluarnya dan masuknya, dengan menyebut lafazh “Allah” di te­ngah orang maupun sendirian.

Dengan mentasydidkan lafazh “Allah”, kemudian memanjangkannya, dari bawah kemudian ke atas dalam mensifati Allah dengan perantara, maka sempurnakanlah.

Penjelasan Pengasuh
Bait-bait ini dikutip oleh penyusun dari Syaikh Abdullah bin Abi Bakar Al-Aydrus, semoga Allah meridhai mereka semua, yakni, “Telah sepakat sebagian besar ahli ma`rifat bahwasanya ketaatan yang paling utama adalah menjaga napas-napas.” Yaitu, keluar dan masuk­nya napas adalah dengan ucapan “Allah”, baik bersama jama’ah maupun sendirian. Karena, hal itu merupakan pembuka keghaiban, penarik kebaikan, penghibur orang-orang yang kesepian, dan penghimpun segala yang bersera­kan dari yang melakukannya.

Apabila orang yang dzikir telah di­kuasai oleh rasa cinta terhadap nama yang didzikirkan, keadaannya sedemiki­an rupa, sehingga salah seorang pelaku dzikir pernah kejatuhan sebongkah batu, lalu darah menetes ke tanah, dan tertulis kalimat “Allah, Allah”. Demikian yang di­tuturkan oleh Tuanku Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya`rani.

Wajib bagi seorang murid (orang yang ingin menempuh jalan Allah) untuk berdzikir dengan kekuatan sempurna, yang tidak tersisa ruang dalam hatinya bagi selain Allah. Apabila seorang murid melakukan dzikir kepada Tuhannya dengan kuat dan mantap, niscaya ia meraih maqam-maqam jalan menuju Allah SWT dengan cepat, tidak lambat. Terkadang dalam sesaat ia dapat me­nempuh maqam-maqam yang orang selainnya harus menempuhnya dalam masa sebulan, bahkan lebih.

Dalil mengenai hal itu adalah firman Allah Ta‘ala yang artinya, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi….” (QS Al-Baqarah: 74). Maka sebagaimana batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuat­an, demikian pula berdzikir tidak akan ber­pengaruh dalam rangka menyatukan hati pelakunya yang bercerai berai ke­cuali dengan kekuatan. Demikian kete­rangan dari Syaikh Abdul Wahhab de­ngan mengutip keterangan dari sejum­lah ulama.

Perkataan pengarang di atas dapat dibaca dengan dua kemungkinan. Yang pertama shiftan lah dan kata sebelum­nya harus dibaca dengan tanwin, faw­qun. Bisa juga dibaca dengan shifah lahu dan kata sebelumnya tidak dibaca dengan tanwin, fawqu.

Jika dibaca dengan kemungkinan pertama, maknanya adalah hadirkan sosok gurumu dalam berdzikir, agar ia dapat menjadi teman perjalanan menuju Allah Ta‘ala, dan ini merupakan adab terpenting. Maka pengertian ucapan pengarang adalah dzikirlah dengan lidahmu akan ucapan “Allah” dengan murni karena Allah Ta‘ala, disertai menghadirkan gurumu di hatimu. Se­dang­kan jika dibaca dengan kemung­kinan kedua, maknanya adalah sesung­guhnya tata cara dalam berdzikir itu harus dilakukan bersama seorang guru, maka pelaku dzikir tidak boleh melam­paui kepada dzikir yang lain selain dari yang telah ditalqinkan oleh gurunya kepadanya, kecuali seizin gurunya, dan tidak pula pindah kepada wirid-wirid yang dikhususkan dengan thariqah gurunya.

Kitab Hidayah Al-Adzkiya’ - Karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari
Diasuh oleh K.H. Saifuddin Amsir
Previous
Next Post »