Harga Mahal untuk Riya’

Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan kedudukanmu, engkau sibuk dengan pandangan manusia terhadapmu, sesungguhnya engkau akan membayarnya dengan harga yang mahal...

Kata ar-riya’ berasal dari kata ar-ru’yah (pandangan), sedangkan as-sum‘ah berasal dari kata as-sima‘ (pendengaran). Dari mana da­tangnya kerinduan seseorang terhadap riya’? Yakni sibuknya seseorang untuk men­dapatkan pandangan manusia ke­padanya dan pendengaran orang lain tperihal pujian-pujian orang tentang diri­nya.

Engkau  mencari-cari pandangan orang terhadapmu dalam segala ihwal­mu. Dalam ihwal semacam ini, sesung­guhnya engkau kembali menuju titik ke­lemahan, yang baru saja kita bicarakan (pada edisi yang lalu).

Sudah kita katakan, seorang yang som­bong sesungguhnya telah memper­lemah dirinya untuk orang lain dan me­nyiapkan dirinya untuk titik kelemahan yang kedua, yakni penyakit hati yang ke­dua, maksiat hati yang sangat berba­haya, yakni riya’, yang disebut asy-syirkul ashghar (syirik kecil).

Syirik ini tidak mengeluarkan sese­orang dari agama Islam. Ia tetap menjadi seorang muslim. Akan tetapi mengapa penyakit ini disebut syirik kecil? Karena seorang yang riya’ telah memalingkan iba­dah dari yang semestinya karena Allah SWT, ia palingkan untuk manusia dan ia jadikan tujuan dari ibadahnya un­tuk mendapatkan pujian manusia terha­dapnya, penghormatan orang lain ke­padanya, kecenderungan mereka terha­dap dirinya, dan penilaian mereka terha­dap dirinya bahwa ia adalah “sesuatu”.

Ia menjadikan adanya sekutu bagi Allah dalam niat ibadahnya. Ia hamba Allah akan tetapi dalam ibadahnya meng­inginkan ridha Allah SWT dan ridha manusia. Ia menyekutukan antara men­cari ridha Allah SWT dan mencari ridha makhluk. Itulah sebabnya, penyekutuan semacam ini disebut asy-syirkul khafi (syirik tersembunyi).

Disebut syirik ashghar karena syirik ini tidak mengeluarkan seseorang dari agama. Adapun disebut syirik khafi ka­rena syirik ini memiliki beberapa tingkat­an yang akan dijelaskan pada akhir pel­ajaran kita kali ini.

Riya’ berkaitan dengan masalah arah pandanganmu kepada manusia. Selama engkau menginginkan manusia menghormatimu, mengelu-elukanmu, mengagungkanmu, dan memuliakan ke­dudukanmu, engkau sibuk dengan pan­dangan manusia terhadapmu, sesung­guhnya engkau akan membayarnya de­ngan harga yang mahal... harga-harga yang teramat mahal. Salah satunya ada­lah bahwa sesuatu yang paling mahal yang engkau miliki di dunia ini dan yang paling berharga yang akan engkau ba­yarkan untuk itu semua adalah ibadah­mu kepada Allah SWT. Ibadahmu, eng­kau palingkan untuk manusia.

Mengapa demikian? Seseorang yang riya’, bila ingin bersedekah, ia ingin orang-orang berkata tentangnya bahwa ia dermawan dan pemurah. Bila duduk di satu majelis dan menguraikan suatu pembahasan, ia menghendaki orang-orang memuji penyampaiannya dan kemampuannya dalam memberikan na­sihat dan pelajaran. Bila shalat atau me­lakukan suatu ibadah, ia menghendaki pujian orang terhadap kekhusyu’annya dan kadar kekhuyu’annya dalam dzikir kepada Allah SWT. Bila membaca Al-Qur’an, ia menunggu pujian orang-orang terhadap kemampuan dan keindahan bacaannya. Demikianlah halnya dalam ibadah, saat ia bertaqarrub kepada Allah SWT.

Sepakatkah kalian denganku bahwa harga yang harus dibayar untuk riya’ sa­ngatlah mahal, sehingga tidak semesti­nya dilakukan? Oleh sebab itu marilah kita berlepas diri dari penyakit cinta terhadap kedudukan di hati manusia.

Cintailah manusia, cintailah kebaikan bagi manusia, dan cintailah cinta manu­sia kepadamu karena Allah SWT. Akan tetapi janganlah engkau mencari ke­dudukan di sisi makhluk. Sesungguhnya kedua hal itu memiliki perbedaan yang sangat besar, sekalipun teramat tipis dan halus perbedaan antara keduanya.

“Benar, aku mencintai manusia ka­rena Allah dan aku pun cinta saudara-saudaraku yang mencintaiku karena Allah. Akan tetapi tidaklah sepatutnya aku mencari dan hidup dengan meno­lehkan pandanganku kepada keduduk­anku di dalam hati mereka. Mengamat-amati dan memperhatikan dengan sek­sama, apakah kedudukanku jatuh di mata mereka atau semakin tinggi dan se­makin tinggi lagi? Apakah keduduk­anku diperhitungkan di sisi mereka, atau­kah sama sekali tidak diperhitungkan?”

Cinta kedudukan di hati manusia, hal itulah yang menyebabkan lahirnya riya’, menyebabkan berpaling kepada selain Allah SWT – na’udzu billah min dzalik. Dan menolehnya hati kepada cinta ke­dudukan di tengah-tengah makhluk akan menyebabkan runtuhnya kedudukan di sisi Allah SWT.

Arah pandangan hatimu kepada makhluk untuk mencari kedudukan di sisi mereka di saat beribadah kepada Allah SWT akan merendahkan kedudukanmu di sisi-Nya.

Manakah sesungguhnya yang eng­kau inginkan: kedudukan di sisi makhluk atau kedudukan di sisi Allah SWT?

Engkau adalah murid menuju Allah, peniti jalan menuju akhirat. Ambillah kabar gembira yang akan membuatmu mudah untuk mendapatkan dua pilihan itu. Luruskanlah niatmu untuk mencari kedudukan di sisi Allah SWT, niscaya Dia akan memberikan kedudukan bagi­mu di sisi makhluk. Akan tetapi hal ini berbeda dengan permasalahan “Aku akan ikhlas karena Allah dan Allah akan menjadikan manusia mencintaiku”, seperti yang telah dijelaskan pada pelajar­an yang lalu.

Sunnatullah telah berlaku bahwa, di saat engkau benar dan tulus dalam mu‘amalahmu kepada Allah SWT dan tidak mencari dan menginginkan selain Allah SWT, semua urusanmu akan kem­bali kepada-Nya. Bila Allah menghen­daki, Dia akan menghimpunkan hati ma­nusia kepadamu; dan bila Dia tidak menghendaki, Dia pun akan mencerai­kan hati manusia darimu.

Sebagian shalihin dicintai oleh ma­nusia, mereka bersatu padu berhimpun men­dekatinya, memuliakannya, dan mengenali keutamaannya; tapi sebagian lagi dikucilkan oleh manusia, diperlaku­kan buruk oleh mereka, dan bahkan me­reka ramai-ramai menghardik dan me­lemparinya.

Baginda Nabi Muhammad SAW dilempari dengan batu dan bahkan se­bagian nabi dibunuh. Di masjid ini, Mas­jid Jami‘ Bani Umayyah, terdapat kepala mulia Nabi Yahya bin Zakariya’ AS. Beliau dipenggal karena kejahatan ke­lompok keji dari Bani Israil.

Akan tetapi, tentu bukan itu yang men­jadi maksud dan harapan. Namun tuluslah kepada Allah SWT, maka Dia akan memberikan kepadamu kebaikan dunia dan akhirat.

Apakah nilainya semua makhluk me­mujimu dan memandangmu dengan pan­dangan pengagungan, mengagung­kan­mu dan memuliakanmu, dan mereka memuji-mujimu dengan kebaikan... si Fulan datang dan si Fulan baru pergi... se­dangkan engkau tidak memiliki ke­dudukan apa pun di sisi Allah SWT.

Sungguh merupakan keadaan yang paling buruk, seseorang hidup di dalam­nya dan dia menduga bahwa dirinya da­lam mu‘amalah yang sebaik-baiknya ke­pada Allah SWT sedangkan dia tidur da­lam keadaan senang dan gembira de­ngan sebab pujian manusia kepada diri­nya dan perhatian mereka kepadanya, sementara dia tidak mengetahui apakah kelak akan menutup matanya dalam ke­adaan Allah ridha kepadanya atau tidak meridhainya.

Kesimpulannya, sumber dan asal mula riya’ adalah menolehkan pan­dang­an kepada kedudukan di hati makhluk.
Previous
Next Post »