Mengobati Penyakit Riya’


Katakanlah, “Laa (tiada) – di saat itu hadirkanlah hatimu untuk menafikan segala sesuatu selain-Nya dari hatimu – Ilaaha (Tuhan),” kemudian ucapkan, “Illallaah (selain Allah),” dengan merasakan dan menghadirkan makna-makna menetapkan nur Allah, karunia Allah, anugerah Allah, ridha Allah, ke dalam hatimu.

Riya’ termasuk paling berat dan paling berbahayanya penyakit yang menimpa hati. Karenanya hendak­lah seorang mukmin berupaya dengan sung­guh-sungguh untuk mengetahui ha­kikat penyakit ini, pengetahuan tentang bagaimana memeriksa hatinya.

Wahai murid peniti jalan menuju Allah SWT, periksalah hatimu, berapa kalikah di saat engkau berdzikir lalu terlintas di dalam benakmu, “Kalau saja si Fulan da­tang dan melihatku!”?!

Berapa kali, di saat engkau shalat di keheningan malam, lalu saudarimu, ayah­mu, ibumu, atau istrimu membuka pin­tu dan melihatmu kemudian engkau me­rasa tenteram dan senang karena me­reka melihatmu di saat shalat?!

Berapa kalikah engkau bersedekah dan engkau menunggu-nunggu ungkap­an terima kasih dari si penerima dan menunggu-nunggu untuk disebut-sebut, “Si Fulan sudah berbuat ini dan itu”?! Eng­kau menolehkan pandangan kepada ma­nusia pada saat berbuat amal.

Berapa kalikah engkau menghitung di saat berbuat amal shalih terlintas di da­lam benakmu pada saat manusia me­lihat­mu mereka akan memuji dirimu?!

Jujurlah kepada Allah SWT. Katakan pada apa yang terjadi antara dirimu de­ngan nafsumu.

“Benar, ya Allah, demikianlah ada­nya. Karenanya aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengampuniku. Aku benci lintasan ini.”

Para ulama mengatakan, penangkal riya’ yang pertama adalah rasa benci ter­hadap riya’ yang ada di dalam hatimu. Eng­kau memandang riya’ dengan pan­dangan kebencian. Ketika datang lintas­an riya’ di dalam hatimu, hendaklah eng­kau membencinya dan katakan, “Wahai nafsu yang mengajak kepada keburuk­an, ting­galkanlah kehinaan ini. Wahai nafsu, raihlah ketinggian. Engkau se­dang ber­muamalah dengan Allah, me­nga­pa eng­kau mempedulikan pandang­an manu­sia?!”

Riya’ sendiri memiliki beberapa ma­cam tingkatan:
Pertama, riya’ zhahir jaliy, riya’ yang nyata dan jelas. Seseorang berbuat amal dan menunggu pujian dari manusia. Riya’ semacam ini sudah merupakan se­suatu yang jelas. Nafsumu menertawa­kanmu ter­hadapnya dan engkau akan menge­ta­huinya itu dari nafsumu, tetapi bila eng­kau memeriksanya.

Kedua, riya’ mutawassith, riya’ per­tengahan. Misalnya, engkau shalat pada malam hari dan engkau katakan, “Aku shalat dua rakaat karena Allah.” Kemudi­an terlintas di dalam benakmu, “Kalau saja sekarang Fulanah membuka pintu ... atau kalau saja si Fulan membuka pintu dan meilihatku....” Di sini lahir ke­baha­giaan dalam hati. Hati menolehkan pandangannya kepada yang lain selain Allah SWT.

Tidak!! Hal itu tidak terjadi. Alham­dulillah, berarti engkau memiliki kewas­padaan lebih besar.

Ketiga, riya’ daqiq khafiy, riya’ ter­sembunyi. Misalnya, engkau shalat dua rakaat dan engkau tidak menunggu se­orang pun agar ia melihatmu di saat sha­lat. Akan tetapi tiba-tiba seseorang da­tang membuka pintu dan ia melihatmu se­dang melakukan shalat lalu engkau me­rasa senang dan gembira karenanya. Hal se­macam ini merupakan bagian dari me­malingkan amal perbuatan yang pa­ling dalam dan tersembunyi yang terjadi an­tara seseorang dengan Tuhannya SWT. Ke­mudian tidak ada batasan untuk ke­dalam­an riya’ sampai pohon cinta ke­pada ke­dudukan dari hatimu mengakar di hati manusia dan selamanya riya’ akan se­makin dalam dan semakin dalam. Dan se­tiap kali engkau meniti jalan menuju Allah SWT, setiap kali itu pula engkau ha­rus mengobati riya’, sesuatu demi se­suatu darinya.

Masalah yang lainnya adalah setiap kali naik kedudukanmu dalam berhu­bung­­an dengan Allah SWT, yang eng­kau sinari dan terangi hatimu dengan dzi­kir dan tampil kepada Allah SWT, se­tiap itu pula engkau akan mampu me­nyingkap sesuatu yang engkau tidak ketahui dari dirimu.

Seseorang datang, ia galau dan me­nangis. Aku pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Ia menjawab, “Aku menduga bahwa diriku sudah membersihkan hatiku dan tulus karena Allah SWT, tapi justru aku mengetahui bahwa diriku penuh dengan berbagai kotoran dan noda!!”

Aku katakan kepadanya, “Engkau su­dah naik meningkat dalam perjalanan­mu menuju Allah.... Kemarin, kotoran dan noda itu sudah ada dalam dirimu akan tetapi tidak terlihat olehmu karena bashi­rahmu (pandangan bathinmu) be­lum meningkat untuk mampu menge­tahuinya. Akan tetapi sekarang ketika bashirahmu sudah meningkat, engkau pun dapat mengetahui perkara-perkara yang tidak engkau ketahui dengan sem­purna.”

Pada saat seseorang memiliki kele­mahan dalam penglihatannya, tentu dia tidak dapat melihat beberapa noda yang ada di pakaiannya; tetapi bila ia meng­gunakan kacamata, niscaya ia akan mam­­pu melihat noda kecil sekalipun yang ada di pakaiannya. Kemudian bila ia meng­gunakan lensa pembesar, tentu dia akan dapat melihat noda yang lebih kecil lagi yang tidak dia ketahui.

Bila bashirah itu belum datang, se­seorang tidak akan merasa kotor. Orang yang datang tadi sekarang sudah menge­tahui adanya kotoran dalam diri­nya. Ko­toran itu sebenarnya telah ada. Dan se­telah ia naik meningkat dalam per­jalan­annya menuju Allah SWT, se­makin besar pula kekuatan bashirahnya, sehingga ia pun dapat melihat lebih banyak dan mengetahui lebih banyak pula.

Demikian pula halnya bila engkau menggunakan miskroskop, niscaya eng­kau akan dapat menemukan dan me­nge­­tahui kuman-kuman dan noda-noda yang ada di pakaianmu.

Demikianlah hati!!! Bila engkau naik meningkat dalam nur dan ma‘rifahmu ke­pada Allah SWT, niscaya engkau akan naik meningkat pula dalam kemampuan­mu untuk membersihkan hatimu untuk se­makin mensucikannya dan mening­kat­kannya kepada kedudukan yang lebih tinggi lagi.

Itulah sebabnya, dengan berke­si­nam­­bungannya perjalanan seseorang me­nuju Allah SWT, dia akan lebih ba­nyak lagi mengetahui dan menyingkap ha­kikat mak­na-makna riya’, yang sebe­lumnya ia tidak mengetahuinya dan tidak me­noleh­kan pandangannya terhadap­nya sebe­lum itu.

Lalu, apa yang hendaknya engkau la­kukan? Jawabannya adalah mengo­bati riya’ dari hatimu.

Para ulama hati menyebutkan ba­nyak cara untuk mengobati penyakit riya’, di an­taranya adalah dengan mem­benci lintasan riya’ dan menuduh diri sen­diri me­miliki riya’. Cara semacam ini, lakukan­lah terhadap semua macam pe­nyakit hati, pada semua aib. Jangan per­nah lari dari menguduh dirimu dengan aib dan cela. Karena bila engkau lari dari­nya, niscaya nafsumu akan menerta­wakanmu dan engkau tidak akan mam­pu mengetahui dan menyingkap aib dan cela yang ada dalam dirimu.

Malik bin Dinar RA, suatu ketika saat berjalan di antara jalan-jalan yang ber­ada di kota Bashrah, tiba-tiba seseorang me­manggilnya dari kejauhan, “Wahai orang riya’! Wahai orang riya’!”

Berkata kepada siapa orang itu? Ke­pada Malik bin Dinar, seorang imam be­sar yang arif billah, salah seorang pem­besar generasi salafush shalih, di antara para rijal (wali-wali besar) yang ada di dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah?

Coba pikirkan, sendainya engkau ke­luar dari Masjid Jami‘ Al-Umawi, shalat Isya berjama’ah, shalat sunnah, dan eng­­kau menghadiri majelis untuk meng­ajar­kan ilmu, kemudian, di saat keluar, sese­orang berkata kepadamu, “Engkau pen­dusta besar, orang riya’, hadir ke ma­jelis ilmu hanya mencari popularitas de­ngan tampil di televisi, tidak tulus karena Allah!”, bagaimana kira-kira jawabanmu kepada orang ini.

Mungkin engkau akan menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari su’uzhan, wahai saudaraku....” Atau, “Jazakallah khairan, terima kasih atas nasihatnya, semoga Allah memperbaiki hati kita”, padahal hatimu marah ter­hadap orang yang berkata seperti itu ke­padamu.

Bila demikian halmu, ini masih ter­masuk sikap yang terbaik (dalam pan­dangan umum); atau, jika tidak, justru eng­kau memukulnya dan berkata ke­pada­nya, “Lihatlah kepada dirimu.”

Akan tetapi, coba lihat Malik bin Dinar RA. Beliau tersenyum dengan wajah yang berseri-seri dan berkata kepada­nya, “Siapa gerangan yang mem­beri­tahumu namaku yang sesungguhnya, padahal ba­nyak penduduk Bashrah yang tidak mengetahui? Bagaimana engkau bisa tahu? Benar, aku Al-Mura’i (orang riya’)....”

Mengapa orang itu tidak dapat mem­permainkan Malik bin Dinar? Mengapa orang bodoh itu, yang berkata kepada Imam Malik bin Dinar “Wahai orang riya’!”, tidak dapat menghinakannya, dan me­nga­pa ia tidak berhasil untuk menge­luar­kan sang imam dari keadaannya ber­sama Allah SWT?

Hal itu karena sesungguhnya Imam Malik bin Dinar RA pada asalnya telah menuduh dirinya memiliki aib dan cela. Beliau mengakui adanya kehinaan dan cela dalam hubungan dirinya dengan Allah SWT. Karenanya beliau menge­ta­hui berbagai hal pada hatinya, sebab be­liau selalu naik meningkat dalam hu­bung­annya dengan Allah SWT. Itulah se­bab­nya para ulama mengatakan, “Hasanatul abrar sayyiatul muqarrabin — Kebaikan di sisi orang-orang abrar (baik) adalah keburukan di sisi para muqarrabin (orang-orang yang memiliki derajat kedekatan yang tinggi dengan Allah SWT).” Seorang muqarrabin me­mandang sesuatu seba­gai keburukan sekalipun bagi orang-orang abrar itu dipandang sebagai ke­baikan.

Setelah pelajaran ini, apa yang se­yogianya kita lakukan. Tuduhlah dirimu dengan aib dan cela. Bila engkau menu­duh dirimu dan bersandar sepenuhnya ke­pada Allah SWT, niscaya Allah akan mem­berimu cahaya untuk dapat melihat kotor­an dan noda yang ada di dalam diri­mu.

Ringkasnya, perbuatan apa pun yang sedapat mungkin engkau lakukan untuk terhindar dari riya’, intinya adalah sibuk­anlah sepenuh hatimu dengan ke­agung­an Allah SWT, karena sesung­guh­nya ada­nya riya’ menunjukkan kosong­nya hati pelakunya dari keagungan Allah SWT. Bila saja hati telah terpenuhi de­ngan keagungan Allah SWT, niscaya engkau tidak akan merasa butuh selain Allah SWT melihat amal perbuatanmu.

Apakah pandangan-Nya tidak cukup bagimu? Apakah ilmu-Nya terhadap se­gala apa yang engkau perbuat tidak cu­kup bagimu?

Makna-makna ini akan dapat meng­hilangkan cinta kepada dunia dan cinta kepada kedudukan di sisi manusia dari hati dan memenuhinya dengan ke­agung­an Allah SWT.

Ada kalimat yang bila engkau banyak mengucapkannya niscaya akan mem­ban­tumu kepada ikhlas. Kalimat itu ada­lah kalimat ikhlas, yakni kalimat La Ilaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah). Hen­daklah kalimat ini menjadi wiridanmu.

Katakanlah, “Laa (tiada) – di saat itu hadirkanlah hatimu untuk menafikan segala sesuatu selain-Nya dari hatimu – Ilaaha (Tuhan),” kemudian ucapkan, “Illallaah (selain Allah),” dengan merasa­kan dan menghadirkan makna-makna menetapkan nur Allah, karunia Allah, anu­gerah Allah, ridha Allah, ke dalam hatimu. Sehingga tiada lagi yang berada di dalam hatimu selain Allah SWT. Ini adalah mak­na penyucian terhadap hati dari makna me­nolehkan pandangan kepada makh­luk.
Previous
Next Post »