Semua itu adalah karena engkau lalai bahwa lintasan kebajikan yang engkau lakukan selama itu sesungguhnya berasal dari sisi Allah SWT yang ditiupkan ke dalam hatimu. Engkau lalai bahwa itu semata-mata karunia dari Allah SWT.
Sebagian orang terkadang mungkin berkata, “Ambilkan kurma yang kita bawa dari umrah, bukan umrah yang sekarang, tapi umrah sebelumnya....”
Kami katakan, tidak mengapa bergembira dengan haji, bergembira dengan umrah, tahadduts bini‘matillah (menunjukkan syukur terhadap karunia yang Allah berikan dengan menceritakannya kepada orang lain). Akan tetapi, berhati-hatilah bahwa engkau tidak merasakan sesuatu pun bahwa karunia itu berasal dari Allah SWT semata-mata.
Di mana ukurannya untuk mengetahui bahwa engkau tidak merasa sesuatu pun terhadap karunia pemberian Allah SWT itu?
Terkadang tentu engkau mendapatkan musibah, yang tentu setiap kita pernah mengalami musibah – semoga Allah memelihara kita dari semua musibah. Manakala engkau ditimpa musibah, jika hatimu dikuasai oleh sifat lalai dari merasa bahwa segala karunia, yang berupa amal-amal kebajikan, yang bahkan lintasannya pun semata-mata berasal dari Allah SWT, pada saat itu akan terlihat darimu tanda-tanda pesimistis dan buruk sangka terhadap Allah SWT. Engkau akan berkata, “Wahai Tuhanku, mengapa musibah ini menimpaku? Lihatlah mereka yang durhaka kepada-Mu, mereka yang berbuat ini dan itu. Mengapa justru aku yang Engkau timpakan musibah. Aku, yang taat dan tunduk kepada-Mu, justru yang Engkau timpakan musibah. Mengapa harus aku yang rugi dalam perniagaan ini? Mengapa aku yang gagal meraih ini dan itu?”
Dari mana setan masuk ke dalam hatimu membisikkan perasaan ujub itu ke dalam hatimu? Dari mana engkau memandang dengan pandangan keagungan terhadap dirimu?
Semua itu adalah karena engkau lalai bahwa lintasan kebajikan yang engkau lakukan selama itu sesungguhnya berasal dari sisi Allah SWT yang ditiupkan ke dalam hatimu. Engkau lalai bahwa itu semata-mata karunia dari Allah SWT.
Itulah sebabnya, para salafush shalih, bila seseorang di antara mereka berbuat kebajikan, ia akan berkata, “Aku harus bersyukur kepada Allah SWT atas taufiq-Nya kepadaku terhadap amal shalih ini, dan aku mesti bersyukur kepada-Nya karena telah memberiku taufiq untuk bersyukur kepada-Nya atas amal shalih yang aku kerjakan.”
Ia senantiasa merasa malu terhadap Allah SWT.
Itu semua adalah makna-makna yang padanya terdapat nilai dari perjalananmu menuju Allah SWT. Karena sesungguhnya Allah Mahakaya dari butuh kepada shalat kita, puasa kita, haji kita, zakat kita, dan jihad kita, serta dari membutuhkan amal-amal kita seluruhnya. “Akan tetapi ketaqwaan kalianlah yang dapat mencapai-Nya.” — QS Al-Hajj (22): 37.
Apabila Allah melihat adanya makna-makna tersebut di hati kita, niscaya Allah akan menjadikan amal-amal itu bernilai dan berharga di sisi-Nya.
Aku telah mendengar dari salah seorang ulama besar negeri Syam, Syaikh Muhammad Syaqir RA, dan para ulama pun telah menukilkannya sebelum itu dari ulama-ulama sebelumnya, satu ucapan yang sungguh mengejutkanku, beliau berkata, “Amal-amal shalih seluruhnya adalah nol – shalat adalah nol, haji adalah nol, zakat adalah nol, shadaqah adalah nol, tilawah Al-Qur’an adalah nol – dan hanya akan bernilai jika ikhlash karena Allah SWT.”
Jika engkau memiliki tiga nol, lalu engkau letakkan angka satu di awalnya, jadi berapakah? Seribu!
Dua nol, seratus. Tiga nol, seribu. Empat nol, sepuluh ribu. Dan begitulah seterusnya, setiap kali engkau tambahkan amal shalih, setiap kali itu pula akan bertambah nilainya. Akan tetapi sebaliknya, bila engkau jauhkan angka satu itu, amal-amal shalih itu hanya akan menjadi nol, nol, nol, yang tidak bernilai sama sekali.
Apakah sesungguhnya ikhlash? Ikhlash adalah amal atau makna?
Ikhlas adalah makna yang kita hidup untuknya dalam perjalanan kita menuju Allah SWT. Landasan-landasan dalam kehidupan adalah makna-makna itu. Dan makna-makna itulah yang menjadikan segala perbuatan, dan semua amal membuahkan sesuatu yang dapat diterima oleh Tuhanmu, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.
Ternyata telah Durhaka
Berikut ini adalah suatu kisah, namun bukan kisah nyata, yang mencontohkan lintasan kebajikan tapi di dalamnya keburukan.
Seorang pemuda hendak pergi dalam satu tugas kemanusiaan sebagai seorang sukarelawan. “Ada tugas kemanusiaan untuk kita. Kami hendak membantu masyarakat daerah Fulan, yang membutuhkan pertolongan, dan membantu para fakir miskin di sana,” kata teman-temannya.
“Kamu jangan menjadi seorang yang individualistis,” kata teman-temannya lagi memberi semangat dan dorongan.
Di hari yang ditentukan, bergegaslah si pemuda untuk pergi menuju teman-temannya yang sudah menunggu di tempat yang telah dijanjikan.
Setelah berkemas-kemas dan tergesa-gesa hendak keluar rumah, ia melihat, ternyata sudah terlambat lima menit dari waktu yang sudah disepakati.
Tiba-tiba ibunya yang telah lanjut usia datang dari pasar dan berdiri di depan pintu.
“Anakku... anakku, Ibu baru pulang dari pasar. Barang bawaan Ibu berat... bantu Ibu mengangkat ke dalam rumah, ya....”
“Ibu, engkau baru pulang dari pasar... dan barang-barang Ibu kan hanya sayur-mayur dan makanan. Aku harus buru-buru pergi untuk menolong orang yang sedang tertimpa masalah besar!”
“Nak, bantu Ibu sebentar saja, hanya beberapa detik....”
“Ibu, aku buru-buru...!”
Sang ibu pun berdiri di hadapannya, menghalanginya untuk pergi sembari memintanya untuk sebentar saja mengangkat barang-barang bawaannya dari pasar.
Pemuda tadi pun memegang tangan ibunya sambil berkata, “Ibu, ini urusan lebih penting, untuk menyelamatkan manusia... menjauhlah, Ibu....”
Tangan ibunya dipegang dengan keras dan diarahkan ke samping agar sang ibu tidak lagi menghalangi jalannya.
Karena kerasnya pegangannya itu, sang ibu, yang sudah lanjut usia, terlempar dan jatuh ke atas tanah hingga kakinya terluka dan mengucurkan darah.
Amal tersebut apakah baik permulaannya? Ataukah justru buruk di awalnya? Ke manakah pemuda itu hendak pergi? Ia hendak pergi untuk kemanusiaan, untuk dakwah kepada jalan Allah, untuk membantu orang-orang faqir, untuk urusan sosial, atau untuk amal kebajikan apa pun, akan tetapi di jalan ia telah melakukan satu kedurhakaan.
Apa sebab hal itu bisa terjadi pada seseorang? Sebabnya adalah karena dalam menjawab lintasan kebajikan yang ada itu terdapat kelalaian terhadap kemungkinan datangnya keburukan atau datangnya istidraj dari setan.
Bagaimana kita dapat mengetahui lintasan kebaikan yang padanya terdapat keburukan, yang berarti kita lalai di dalamnya?
Pertama, tergesa-gesa, tanpa berpikir terlebih dahulu. Yakni tidak berpikir terlebih dahulu tentang maksud dan tujuannya, tidak berpikir tentang bagaimana cara melaksanakannya. Seseorang tergesa-gesa untuk melakukan suatu kebajikan, namun ia tidak berpikir mana yang lebih utama, dan tidak pula berpikir terlebih dahulu bagaimana cara melakukannya yang terbaik.
Kedua, merasa aman, tanpa rasa takut. Ia tidak berpikir, “Bila saja aku salah dalam bermuamalah dengan Allah, atau mungkin saja aku tidak ikhlas.”
Namun, bukanlah yang dimaksud di sini agar engkau mundur dari melakukan kebajikan itu. Melainkan, pikirlah terlebih dahulu, lalu tunaikanlah, keluarlah menuju kebaikan dan merasa takutlah bila saja dalam melakukannya tercederai oleh kurangnya ikhlas kepada Allah SWT. Jangan sampai setan datang kepadamu, menertawaimu dan berkata kepadamu, “Engkau tidak ikhlas... lebih baik duduklah!”
Bila engkau duduk menuruti setan, sungguh engkau telah memberinya kemenangan yang gemilang.
Mengapa setan memperdayaimu dengan riya’? Sesungguhnya setan bertujuan untuk menjatuhkan nilai amal yang dapat menambahkan pahala bagimu. Dan demikian pula sebaliknya, bila engkau berhenti dari berbuat kebajikan, ia pun akan berkata kepadamu, “Terima kasih!” Karena engkau telah memberinya kemenangan dengan tidak berbuat kebajikan itu.
Merasa aman tanpa dilandasi rasa takut, yakni engkau tidak menimbang tujuannya. Engkau tidak merasa takut bila saja terdapat kekurangan dalam keikhlasan, tidak benar dalam niatnya.
Ketiga, kesungguhan yang tidak dilandasi rasa takut. Yakni engkau berbuat satu amal kebajikan dengan penuh kesungguhan akan tetapi di tengah itu engkau tidak merasakan takut bahwa amalnya akan tertolak.
Keempat, buta terhadap tujuan. Yakni, engkau tidak berpikir tentang apa tujuanmu dari melakukan amal kebajikan itu. Engkau bertekad untuk berbuat satu perbuatan kebajikan, menjadi sukarelawan, misalkan. Mengapa engkau melakukannya? Apakah semata untuk kemanusiaan? Ataukah engkau ingin bertaqarrub kepada Allah dengan amal yang disukai-Nya? Engkau hendak melahirkan dari hatimu makna kasih sayang, karena Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang.”
Berpikir tentang tujuan dari segala perbuatan yang akan dilakukan adalah asas utama. Bila kalian melihat banyak amal kebajikan berubah menjadi amal-amal buruk atau membahayakan kaum muslimin atau berakibat buruk bagi dakwah kepada Allah SWT, kalian akan melihat bahwa hal itu dikarenakan mereka yang melakukan amal-amal tersebut terkadang menghendaki kebaikan akan tetapi mereka melalaikan empat hal tersebut.
Mereka tergesa-gesa tanpa berpikir terlebih dahulu, merasa aman tanpa rasa takut, sungguh-sungguh tanpa dilandasi rasa takut, dan buta terhadap tujuan, tidak pernah memandang apa tujuan dalam melakukan kebajikan.
Bila datang lintasan kebajikan dalam hatimu, jawablah dan bersegeralah untuk menunaikannya, karena kita diperintah untuk bersegera menuju kebajikan. Akan tetapi bedakanlah, antara tergesa-gesa (‘ajalah) dan bersegera (musara‘ah). Bersegera artinya engkau mengeluarkan dari dalam hatimu tekad yang kuat untuk melakukan amal kebajikan dan engkau menunjukkan kesungguhanmu semata-mata karena Allah SWT, sedangkan tergesa-gesa tidak memandang kepada bagaimana cara melakukan perbuatan itu dengan jalan yang diridhai Allah SWT.