Bodoh Sumber Kesombongan

“Seberapa besar masuk kesombongan ke dalam diri seseorang, sebesar itu pula ilmu keluar dari dirinya.” Karena kesombongan dan hakikat ilmu tidak akan pernah berkumpul pada diri seseorang.

Beberapa waktu lalu, telah  dijelaskan dua dari tiga fase al-kibr (kesombongan). Selanjutnya, Habib Ali Al-Jufri menjelaskan fase terakhir dari al-kibr tersebut. Berikut uraiannya.

Dan ketiga, perbuatan yang dilaku­kan oleh anggota tubuh
Setelah Allah SWT menciptakan Adam AS dari tanah dan meniupkan ke­padanya ruh dari sisi-Nya dan memerin­tah­kan para malaikat supaya bersujud kepada Adam, timbullah dua bentuk ke­samaran. Yaitu, pertama, kesamaran yang berasal dari dzat yang tidak ter­dapat padanya kesombongan (al-kibr) akan tetapi ingin memahami sesuatu. Dan, kedua, kesamaran yang berasal dari dzat yang padanya terdapat kesom­bongan.

Tidaklah salah bila engkau merasa samar terhadap sesuatu, ingin mena­nya­kan sesuatu, dan ingin memahami­nya. Misalkan engkau berkata, “Aku  ti­dak puas dengan hal itu, aku ingin me­mahaminya.” Hal semacam ini bukanlah sebuah kesombongan dan bukanlah se­buah penentangan bila yang mendo­rongmu kepada hal itu adalah untuk mencari kebenaran.

Para malaikat berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka ber­kata, ‘Mengapa Engkau hendak men­jadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami se­nantiasa bertasbih dengan memuji Eng­kau dan mensucikan Engkau?’.” QS Al-Baqarah (2): 30.

Ini adalah pertanyaan untuk mencari penjelasan. Perkataan itu diucapkan oleh para malaikat karena merasa samar dalam perkara tersebut.

Para malaikat adalah makhluk Allah SWT yang sepenuhnya beribadah ke­pada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Mereka makhluk yang tercipta dari ca­haya, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala hal yang diperin­tah­kan-Nya dan senantiasa menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka.

Tiba-tiba Allah ciptakan satu makhluk yang terbuat dari tanah, belum pernah satu kali pun sujud kepada-Nya, dan ti­dak pula tampak adanya keutamaan dan keistimewaannya dibanding mereka, para malaikat. Dalam kondisi semacam itu, Allah justru berfirman kepada mere­ka, “Sujudlah kalian kepadanya (Se­sungguhnya Aku telah menjadikan se­orang khalifah di muka bumi).”

Malaikat berkata, “Bagaimana mung­kin wujud seperti itu disebut khalifah (wakil Allah)? Padahal kami senantiasa ber­sujud dan menunaikan segala perin­tah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguh­nya Aku lebih mengetahui segala apa yang tidak kalian ketahui.”

Mendapat jawaban dari Allah SWT se­macam itu, para malaikat pun berhenti sampai batas ini. “Benar, Mahasuci Eng­kau. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang kami tidak ketahui.” Maka selesailah masalahnya.

Sedangkan Iblis memiliki kesom­bong­an di dalam dirinya. Ia menisbahkan se­gala perbuatan dan ibadahnya kepada dirinya sendiri dan tidak kepada taufiq Allah SWT. Ia memandang bahwa diri­nya lebih mulia dari selainnya.

Kala itu Iblis berkata, “Bagaimana mung­kin, ia tercipta dari tanah, dan Eng­kau ingin aku sujud kepadanya?”

“Allah berfirman, ‘Apakah yang meng­halangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’.” — QS Al-A`raf (7): 12.

“Menjawablah Iblis, ‘Aku lebih baik daripadanya’.” — QS Al-A`raf (7): 12.

Iblis membanding-bandingkan diri­nya dengan Adam AS. “Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.

“Allah berfirman, ‘Turunlah engkau dari surga itu...’.” — QS Al-A`raf (7): 13.

Perhatikan! Di sini permasalahan sesungguhnya berasal dari dalam diri Iblis yang kemudian menjadi tabiat. Apa tabiatnya? Yakni menolak sujud, men­durhakai Allah SWT, dan tidak melak­sanakan perintah Allah SWT.

Tabiat ini telah mencegah Iblis dari me­lakukan apa yang diperintahkan ke­padanya. Setelah itu keluarlah darinya ucap­an, “Aku lebih baik darinya.” Sete­lahnya muncul lagi sikap untuk menetap­kan dirinya dalam kebathilan dan ke­durhakaan. “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua­nya.” — QS Shaad (38): 82.

Kepada siapa Iblis berkata demi­kian?
Iblis berkata demikian kepada Tuhan, Yang Maha Agung. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi. Siapa yang dia tentang?!

Dari mana penentangan itu berasal? Sesungguhnya musibah kubra (musibah terbesar) yang menimpa Iblis adalah ada­nya perasaan lebih tinggi terhadap makhluk lainnya di dalam dirinya. Dari musibah ini muncullah musibah berikut­nya, yakni riya’, yang akan dibahas pada pelajaran yang akan datang. Iblis me­mandang bahwa dirinyalah yang paling utama. Dari musibah ini lahir pula mu­sibah berikutnya, yakni hasad (dengki). Setelah itu mulailah Iblis menyakiti Adam AS dan anak keturunannya dan tak hen­ti-hentinya mengintai mereka — semoga Allah memilihara kita semua dari Iblis. Dari manakah semua itu asalnya?

Asalnya adalah dari musibah al-kibr (kesombongan). Bila kita sudah menge­tahui hal itu, lalu dari manakah sumber al-kibr itu sesungguhnya?

Bila kita menghendaki untuk membi­carakan ihwal al-kibr dari bentuk yang lain atau dari sisi yang lain, pada hakikat­nya al-kibr adalah jahlun (kebodohan). Sumber dan asal kesombongan adalah kebodohan (al-jahlu). Dari sinilah sebagi­an ulama salaf berkata, “Setiap kali ber­tambah kadar kesombongan seseorang, bertambah pulalah kebodohannya.”

Sebagian yang lain berkata, “Sebe­rapa besar masuk kesombongan ke dalam diri seseorang, sebesar itu pula ilmu keluar dari dirinya.” Karena kesom­bong­an dan hakikat ilmu tidak akan per­nah berkumpul pada diri seseorang.

Bentuk ilmu mungkin saja dapat bersatu dengan kesombongan, misalkan ia hafal hukum-hukum syari’at, hafal pen­dapat-pendapat para ulama dan ko­mentar-komentar mereka, serta teguh da­lam menunaikan berbagai rupa iba­dah! Akan tetapi hakikat ilmu tidak akan pernah dapat bersatu dengan kesom­bongan.

Orang yang sombong tidak akan per­nah mendapatkan hakikat ilmu selama-lamanya. Mengapa demikian? Apa se­sungguhnya kaitan antara sifat sombong dan kebodohan?

Alat Ukur
Ini adalah alat ukur untuk menim­bang kebodohan terhadap apa yang mem­buatmu menyombongkan diri?

Atas dasar apa engkau sombong? Sombong karena sebab ilmu yang di­miliki? Sungguh ini adalah kebodohan. Karena ilmu itu sesungguhnya adakala­nya sebagai hujjah yang membelamu tapi adakalanya juga menjadi hujjah yang akan memberatkanmu di hadapan Allah SWT. Setiap kali engkau bertam­bah ilmu, setiap itu pula Allah akan lebih banyak menghisabmu untuk memper­tang­gungjawabkan ilmumu di hadapan-Nya. Lantas apa yang engkau sombong­kan dengannya?

Sungguh celaka bagi si bodoh kare­na tidak belajar satu kali pun, dan celaka­lah bagi orang yang alim karena tidak beramal seribu kali. Ketahuilah, setiap kali bertambah ilmumu, setiap itu pula ber­tambah pula hisab yang akan diha­dapkan kepadamu.

Bila demikian halnya, apakah yang menyebabkanmu sombong terhadap orang lain? Dengan banyaknya amal­mu? Ataukah dengan kesungguhan ibadahmu?

Engkau bangun di malam hari dan memperbanyak shalat. Benar engkau telah melakukan kebajikan. Segala ben­tuk amal kebajikan yang telah engkau lakukan itu, dapatkah kau jamin pasti di­terima di sisi Allah SWT? Bila tidak, de­ngan apa engkau sombong?

Ketahuilah bahwa yang memberimu taufiq untuk melakukan semua itu adalah Allah SWT. Jika bukan karena taufiq-Nya, tidak mungkin engkau akan me­nyem­bah-Nya. Dan bukankah sampai saat ini pun engkau tidak dapat memasti­kan diterima atau tidak semua amalmu itu?

Mungkin saja engkau melihat sese­orang, menghinakannya, dan meman­dang bahwa tidak ada sesuatu pun pa­da­nya di depan ilmu, ibadah, atau ke­istiqamahanmu, padahal boleh jadi hati­nya lebih makmur bersama Allah SWT berlipat-lipat melebihi apa yang ada di dalam hatimu. Dan boleh jadi engkau akan masuk ke dalam surga dengan sya­fa’at orang itu kelak pada hari Kiamat.

Atau mungkin juga orang yang eng­kau hinakan itu adalah seorang ahli mak­siat. Benar, bisa saja dia seorang ahli maksiat. Akan tetapi, dapatkah engkau menjamin bahwa seorang ahli maksiat pasti akan mati dalam kemaksiatannya sehingga engkau merasa perlu untuk menghinakannya dan menyombongkan diri terhadapnya?

Engkau boleh menghinakan kemak­siatan, tapi jangan engkau hinakan orang yang berbuat maksiat. Benar, se­tiap kita tentu tidak menyukai maksiat. Dan bila maksiat itu berasal dari kita, kita segera memohon ampun atasnya. Akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan kita wajib untuk menghinakan orang yang berbuat maksiat, karena akhir dari per­jalanan orang yang berbuat maksiat itu ti­daklah seorang pun mengetahuinya dan tersamar atas siapa pun.

Bisa saja Allah memandang orang yang berbuat maksiat itu dengan pan­dangan rahmat-Nya sehingga Allah meng­ampuninya. Dan hatinya kemudian tampil kepada Allah dan masuk ke dalam golongan para ash-shiddiqin al-muqar­rabin (salah satu maqam kewalian) di sisi Allah SWT.

Sedangkan engkau?

“Aku juga ahli ibadah!!”

Benar, engkau saat ini istiqamah da­lam ibadahmu. Akan tetapi dapatkah engkau menjamin akan senantiasa da­lam keistiqamahanmu? Berapa banyak orang yang awalnya istiqamah tapi ke­mudian berpaling — kita memohon per­lindungan kepada Allah SWT.

Perhatikanlah, sesungguhnya sese­orang yang meneguhkan dirinya dalam kesombongan terhadap orang lain ka­rena ibadahnya, pastilah ia berpaling dari ibadah kepada Allah SWT. Ambillah ini sebagai kaidah dalam masalah ini.

Bila engkau menghendaki contoh­nya, perhatikanlah! Iblis beribadah lebih banyak dan lebih hebat darimu, tapi lihatlah bagaimana keadaannya saat ini? Iblis menjadi makhluk yang paling jauh dari ibadah. Ia menjadi makhluk yang ingkar, sesat dan menyesatkan bagi segenap makhluk Allah lainnya.

Sesungguhnya barang siapa me­nyombongkan diri terhadap selainnya karena ibadahnya niscaya akan diadzab dengan berpaling dari ibadah kepada Allah SWT dan meninggalkannya.

Engkau tidak dapat menjamin dirimu untuk senantiasa dalam ibadah kepada Allah SWT, lalu mengapa engkau me­nyombongkan diri terhadap yang lain?

Ilmu dan ibadah sebagai hal yang pa­ling utama atas segala sesuatu tidak membolehkanmu untuk menyombong­kan diri.

Apakah engkau akan menyombong­kan diri dengan harta? Sesungguhnya harta itu halalnya adalah hisab dan ha­ramnya adalah adzab.

Seseorang akan ditanyai ihwal se­gala sesuatu satu kali dan akan ditanyai perihal harta dua kali. Dari mana ia men­dapatkannya dan pada apa ia menaf­kahkannya?

Engkau adalah makhluk yang ber­akal, dengan apa engkau akan menyom­bongkan diri?!

Dengan harta? Orang-orang kafir dan fasiq memiliki harta yang lebih banyak darimu.

Dengan apa engkau merasa lebih mulia dari orang lain? Dengan nasab, atau sukumu? Bila itu sebabnya, itu me­rupakan kebodohan yang paling nyata. Engkau menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak ada sedikit pun andilmu di dalamnya. Engkau tidak ada andil sedikit pun dalam nasabmu dalam suku dan kabilahmu. Bahkan engkau tidak pernah memilih dari nasab mana engkau berasal, dari keturunan siapa, dari suku apa, atau dari kabilah apa? Bagaimana mungkin engkau menyom­bongkan dirimu dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada andil sedikit pun darimu padanya?

Bila tidak ada sesuatu pun yang patut untuk menjadikan dirimu menyom­bong­kan diri dengannya terhadap orang lain, dapat­lah diketahui, kesimpulan dari al-kibr (som­bong) adalah al-jahlu (kebo­dohan).

Apakah seorang mu’min yang meniti jalan menu­ju Allah SWT ridha terhadap kebodoh­an? Wahai murid yang rindu meng­gapai kedudukan di sisi Allah SWT, apakah eng­kau rela hidup dalam kebo­doh­an da­lam hubunganmu dengan Allah SWT?
Previous
Next Post »