Kelezatan Dekat dengan Allah SWT

Apakah engkau mencari ikhlas? Untuk siapa ikhlasmu? Untuk Allah? 

Lalu bagaimana mungkin keikhlasan, yang merupakan nilai dari segala perbuatan dan amal yang ditujukan kepada Allah,  engkau palingkan untuk mendapatkan ridha dari manusia?

Beberapa waktu lalu, telah  dijelaskan, setan masuk ke dalam hati manusia melalui tujuh jalan utama. Pembi­ca­raan kita saat itu sampai pada jalan ke­empat, yakni ketergesa-gesaan dalam ketaatan, taswif, yang kemudian juga te­lah dibahas penjelasannya. Nah, beri­kutnya jalan kelima, yaitu ujub.

Bila ketergesa-gesaan tak membuat­mu menoleh dan melakukannya, setan akan masuk kepadamu melalui pintu yang kelima, yakni ujub.

Setan pun berkata kepadamu, “Siapa­kah orang sepertimu saat ini! Lihatlah di akhir zaman, bagaimana orang-orang shalat?”

Setan menanamkan rasa ujub di da­lam hatimu sehingga engkau senantiasa menjadikan dan memposisikan dirimu sebagai guru yang selalu ingin mengajari orang lain dalam setiap kebajikan yang mereka lakukan.

Melihat seseorang shalat, engkau ber­kata, “Wahai saudaraku, shalat ma­cam apa ini? Bangunlah, dan shalatlah seperti orang-orang shalat.”

Melihat seseorang bersedekah, eng­kau berkata, “Wahai saudaraku, berse­de­kahlah dengan sesuatu yang berhar­ga. Merasalah malu terhadap dirimu...!”

Ia menjadi pribadi yang ujub terha­dap dirinya sendiri, dan ujub termasuk perkara yang merendahkan akhlaq. Mengapa? Karena dalam ujub itu ter­dapat kezhaliman, yang para ulama menyebutnya zhulmatul minnah ‘alallah (kezhaliman pemberian terhadap Allah).

Pada majelis yang lalu sudah dibi­carakan bahwa amal shalih yang engkau per­buat asal mulanya adalah sebuah lin­tasan. Dari manakah lintasan itu ber­asal? Dari ilham dan dari bisikan ma­laikat, yang semuanya tidak lain adalah anugerah dari Allah SWT dalam setiap keadaan. Lalu bagaimana mungkin eng­kau memberikan kepada Allah sesuatu yang Allah memberikannya kepadamu?

Bila kemudian engkau memohon per­lindungan kepada Allah, setan pun pergi dan lari darimu. Dan untuk meng­atasinya, engkau katakan kepada diri­mu, “Wahai nafsu, malulah engkau ke­pada Allah. Janganlah engkau melihat kedudukan sedikit pun pada amal yang engkau kerjakan.”

Keenam, khawathir fil ‘aqidah (lintas­an-lintasan dalam masalah aqidah).

Setan datang kepadamu dari jalan masuk yang teramat dalam, yaitu mem­permainkanmu dalam masalah aqidah. Ia berkata kepadamu, “Janganlah eng­kau berletih-letih dengan bersusah payah melakukan amal shalih. Engkau haramkan dirimu dari berbagai hal yang semestinya engkau bersenang-senang dengannya. Engkau payahkan dirimu sen­diri padahal engkau tidak tahu ba­gaimana akhir hidupmu. Kita semua tiada mengetahuinya. Wahai saudaraku, bila engkau termasuk orang yang baha­gia di sisi Allah, sungguh sama saja eng­kau bersungguh-sungguh beramala shalih saat ini atau tidak melakukannya, karena pasti Allah akan mengampunimu sebelum kematianmu. Namun, bila eng­kau tergolong orang yang celaka, sung­guh meskipun engkau berupaya sekuat tenaga dan melaksanakannya dengan semaksimal mungkin, itu tidak akan memberimu manfaat apa pun. Lihatlah Iblis, yang sujud sepenuh jengkal tanah di bumi namun tak memberikan manfaat apa pun.”

Ini adalah sesuatu yang sangat ber­bahaya dan teramat hina. Semoga Allah memelihara kita semua dan menjaga kita dari kehinaannya dan terjerumus ke da­lamnya.

Jawaban apa yang harus engkau berikan terhadap bisikan ini?

“A`udzu billahi minasy-syaithanir­rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan, yang terkutuk).”

Setan pun pergi dan lari darimu.

Adapun untuk mengatasi pengaruh bisikan itu di dalam hati, katakanlah, “Wahai hati, Allah telah menciptakanmu dan memberimu tugas untuk melakukan amal kebajikan dan Dia tidak membe­banimu dengan hasil dan akhir dari ketentuanmu.”

Nabi SAW bersabda, “Berbuatlah, karena setiap sesuatu akan dimudah­kan.”

Allah telah menciptakanmu dan me­merintahkanmu untuk beramal, lalu ba­gaimana akhirnya nanti? Ini adalah milik Allah SWT.

Berbuatlah kebajikan. Percayalah dan bersandarlah kepada-Nya. Sungguh mustahil seseorang yang bersandar kepada-Nya akan mendapati kegagalan.

Ketujuh, ad-daqa-iq (tipu daya pada saat-saat tertentu). Bila gagal melalu pintu khawathir fil ‘aqidah, setan akan kembali datang kepadamu dengan se­suatu yang para ulama menyebutnya ad-daqa-iq.

Apa makna ad-daqa-iq?

Setiap pembahasan dalam bab ini, dari yang pertama hingga ketujuh, ada­lah pembahasan yang jelas. Setelah itu setan akan mulai datang kepadamu de­ngan “saat-saat tertentu” dari setiap jalan masuk itu.

Riya’, misalnya. Di sana terdapat riya’ yang jelas, yang nyata.

Seperti apa misalnya?

Seseorang shalat di masjid. Lalu ia memperhatikan bahwa orang-orang me­lihatnya. Ia pun memperindah shalatnya dan menampakkan kekhusyu’an di hadapan mereka.

Ia berusaha seindah mungkin dalam setiap gerakan shalatnya. Lalu sese­orang merasa kagum terhadapnya dan memperhatikannya dengan seksama. Semakin orang itu memandanginya, se­makin pula ia menampakkan kekhu­syu’annya lebih dan lebih lagi.

Setelah dua rakaat dan salam, da­tanglah orang tersebut menghampirinya dengan penuh adab dan berkata ke­pada­nya, “Wahai saudaraku, doakanlah aku ini. Aku melihatmu sebagai seorang yang shalih. Shalat sunnahmu begitu khusyu’.”

Ia pun menjawab, “Aku juga sedang puasa, puasa sunnah, alhamdulillah. Ini semua rahmat dari Allah SWT.”

Semua ini adalah riya’ yang jelas dan nyata. Akan tetapi di dalam riya’ itu sendiri ada sesuatu, ada daqa-iq (saat-saat tertentu). Setan datang dengan ben­tuk yang lain dari riya’. Ia datang ke­pada seseorang dan berkata, “Ikhlaslah karena Allah, niscaya Allah akan mem­buat manusia merasakan perbuatanmu. Namun jangan pernah engkau berbuat untuk mendapatkan pandangan manu­sia. Beramallah, biarlah Allah Yang akan membuat manusia merasakan apa yang engkau perbuat.”

Beberapa kali nafsumu membisikkan itu, mungkin saja setan akan berhasil dengannya. Bahkan, bisa saja engkau menganggapnya sesuatu yang teramat dalam dari keikhlasan.

“Aku beramal ikhlas karena Allah dan Dia akan membuat manusia merasakan amal itu dan menghormatiku.”

Apakah engkau mencari ikhlas? Untuk siapa ikhlasmu? Untuk Allah? Lalu bagaimana mungkin keikhlasan, yang merupakan nilai dari segala perbuatan dan amal yang ditujukan kepada Allah,  engkau palingkan untuk mendapatkan ridha dari manusia?

“Saya ikhlas lillah dan Allah-lah Yang akan membuat manusia mengetahui se­mua itu sehingga mereka akan datang ke­padaku, memuliakanku, dan memuji­ku.”

Engkau mengejar ikhlas untuk me­raih pandangan manusia tertuju kepada­mu?

Sungguh perkara ini teramat dalam, da­lam, dan dalam maknanya!

Contoh yang lain, setan datang dan berkata kepadamu, “Wahai saudaraku, shalatlah dan jangan sekali-kali berpa­ling kepada pandangan manusia. Ja­ngan pernah engkau menoleh kepada pujian dan sanjungan manusia. Ikhlaslah karena Allah. Setelah engkau melaku­kan shalat malam dengan khusyu’, cobalah engkau keluar rumah. Masya Allah, wanita-wanita akan terpana bila me­lihatmu, ‘Masya Allah, wajahmu me­mancarkan cahaya.’ Orang-orang yang melihatmu akan berkata, ‘Masya Allah, wajahmu bercahaya.’ Maka pada saat itu ucapkanlah, ‘Alhamdulillah.’ Itulah keistimewaan shalat malam, shalat yang penuh berkah, Allah akan memuliakan­mu. Allah akan ....”

Satu saat, satu saat, dan begitulah hingga tak terhingga saat demi saat yang setan akan memperdayamu untuk ber­paling dari Allah dalam perkara-perkara yang teramat dalam.

Contoh semacam itu dalam ujub, akan semacam itu pula halnya dalam taswif. Setan akan datang untuk mem­per­mainkan dan memperdayakan manu­sia dengan saat-saat tertentu yang ter­amat singkat namun tanpa disadari telah meluluhlantahkan beribu-ribu bangunan kebajikan bahkan menafikannya sama sekali.

Ketika seseorang hendak berbuat kebajikan, misalkan ia hendak berse­dekah dengan sekian juta rupiah, setan datang kepadanya, “Sungguh luar biasa, sedekah yang istimewa. Segera tunai­kan dan keluarkan. Akan tetapi sungguh mungkin esok lusa pendaftaran untuk memberikan donasi akan dibuka karena di daerah Fulan diberitakan telah terjadi pemboikotan. Tunggulah saat yang tepat untuk memberikan donasi. Hari ini tak mengapa engkau pergunakan dahulu untuk kepentingan ini dan itu!”

Jutaan rupiah yang hendak diinfak­kan pun engkau gunakan dan engkau ha­biskan untuk membeli ini dan itu dari barang-barang dunia. Setan pun pergi dan menertawakanmu.

Setan tidak datang untuk membisik­kan agar engkau menunda-nunda ke­bajikan secara mutlak. Ia hanya membi­sikkan agar engkau menundanya untuk saat-saat yang teramat singkat namun meluluhlantakkan semuanya. Itulah se­babnya, para salafush shalih, bila ter­lintas dalam hati mereka untuk berbuat kebajikan, mereka pun bersegera untuk me­lakukannya. Mereka tidak pernah merasa aman untuk menunda-me­nunda­nya.

Dua Pelajaran
Setelah pelajaran ini, paling tidak ada dua hal yang harus menjadi perhatian kalian.

Pertama, kalian sudah memperhati­kan semua jalan masuk setan dan apa pe­nawarnya, yakni dzikrullah dan isti‘adzah (mohon perlindungan kepada Allah).

Wahai murid yang menuju Allah, berapakah wiridmu untuk berdzikir da­lam sehari semalam? Berapa wiridmu dari membaca Al-Qur’an?

Sejak saat ini, sibukanlah dirimu de­ngan dzikir dan engkau akan melihat bagaimana setan lari darimu, karena setan tidak akan berani untuk berkumpul di sekitar hati yang senantiasa berdzikir kepada Allah SWT.

Kemudian sungguh-sungguhlah da­lam hal lain, yakni mendawamkan wu­dhu. Setiap kali engkau batal, berwu­dhu­lah lagi, karena wudhu adalah senjata bagi orang mukmin dari setan. Wudhu dan shalatlah dua rakaat, bila bukan pada waktu yang dilarang untuk melaku­kan shalat, untuk keluar dari khilaf di an­tara ulama. Bila engkau wudhu pada waktu terlarang shalat, seperti waktu sesudah shalat Ashar dan sesudah shalat Shu­buh hingga waktu isyraq (terbit mata­hari), ucapkanlah “Subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar)” empat kali sebagai ganti dari dua rakaat sunnah wudhu. Yang ter­penting, peliharalah selalu untuk senan­tiasa dalam keadaan wudhu.

A‘udzu billahiminasysyaithanirrajim, dzikir,  wudhu, yakni dawam wudhu (se­nantiasa dalam keadaan wudhu), tidur dalam keadaan wudhu, bangun menuju wudhu, adalah pukulan yang telak dan sesungguhnya terhadap setan.

Kedua, dari penjelasan ini engkau mengetahui dengan sesungguhnya bah­wa engkau memiliki musuh nyata yang tinggal di dalam dirimu.

Setelah mengetahui hal itu, apa yang harus engkau lakukan? Tentu engkau tidak rela untuk hidup dalam keadaan masa bodoh? Engkau adalah seorang murid yang menuju Allah SWT. Engkau merindukan kedekatan dengan Allah SWT.

Janganlah pernah rela untuk mem­biar­kan hari demi harimu, malam dan siang­mu, berlalu dengan muamalahmu yang tidak bernilai kepada Allah SWT. Karena itu, hiduplah dengan penuh ke­sigapan dan kesadaran. Tinggalkanlah segala alasan yang membuatmu diper­mainkan tak tentu arah oleh nafsumu, ka­rena setan akan menertawakanmu. Kembalilah kepada Allah SWT.

Seorang murid harus hidup dengan ke­hidupan yang penuh kesiagaan. Eng­kau ada di tengah kancah peperangan!

Namun, ketetapan hatimu terhadap keyakinan kepada Allah SWT dalam se­gala hal akan mengantarkan kepada satu saat ketika engkau akan melihat bagaimana cahaya akan terpancar di dalam hatimu dan semua keletihan dan kesusahpayahan dari mujahadahmu akan berubah menjadi kelezatan. Dan kelezatan dunia seluruhnya bila dihim­punkan tidak akan pernah menyamai se­saat pun dengan kelezatan ini, kelezatan bermanjaan dengan Allah, kelezatan ma‘rifah terhadap Allah, kelezatan dekat dengan Allah SWT.

Salah seorang ahli ma‘rifah pernah ber­kata, “Bila saja para raja itu menda­patkan sebagian dari apa yang kami dapatkan dari kelezatan bangun malam, niscaya mereka akan merebut kelezatan itu dari kami meski dengan menghu­nus­kan pedang kepada leher-leher kami.”

Perhatikanlah, mengapa para ahli ma‘rifah menyertakan para raja di saat memberikan gambaran tentang kelezat­an ini. Hal itu karena sesungguhnya para raja, setelah mendapatkan kekuasaan, mereka tidak akan lagi mencari sesuatu yang lebih tinggi dari kerajaan, selain mencari berbagai kelezatan.

Karena itu, carilah makna kelezatan semacam ini, yang melebihi kelezatan yang dirasakan oleh para raja.
Previous
Next Post »