Riya’

Setelah menjelaskan panjang lebar ihwal takabur, selanjutnya mulai edisi ini Habib Ali Al-Jufri menjelaskan perihal riya’ dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.

Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengan­nya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh ca­haya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.

Shalawat serta salam semoga se­nan­tiasa tercurahkan atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemimpin sege­nap ahli hakikat ikhlas, dan atas keluar­ganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang meniti di atas jalannya hing­ga hari Kiamat.

Mudah-mudahan, dari pelajaran ter­dahulu sampai pelajaran kali ini, engkau telah merenungkannya dengan sek­sama. Sudahkah engkau renungkan bagaimana menyelamatkan hatimu dari takabur? Sudahkah engkau renungkan hakikat asal penciptaanmu? Sudahkah engkau renungkan bahwa tempat kem­balimu hanyalah sebuah lubang yang di­timbuni tanah? Sudahkah engkau re­nung­kan bahwa di antara itu tidak ada sesuatu pun yang engkau miliki selain apa yang Allah berikan kepadamu?

Sudah pulakah kita memberikan per­hatian kepada perbuatan-perbuatan yang dapat membantu kita untuk mewu­judkan tawadhu dan kerendahan hati?

Berapa banyak orang yang engkau jumpai kemudian engkau terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya? Ada­kah rekan yang berseteru denganmu lalu engkau menjumpainya dan mengucap­kan salam terlebih dahulu kepadanya? Apakah engkau telah datang kepada se­seorang yang telah berbuat buruk ke­padamu lalu engkau luluh lantahkan naf­sumu untuk terlebih dahulu meminta per­sahabatan dengannya?

Ini semua adalah perbuatan-per­buat­an yang dapat membantu untuk mewu­judkan sikap rendah hati dan menghi­langkan takabur. Apakah engkau memi­liki keberanian yang lebih tinggi untuk me­lakukannya? Apakah engkau memi­liki kekuatan yang lebih besar sehingga engkau dapat memperbuatnya?

Apakah engkau memiliki semangat yang sama dengan sekalian murid yang meniti jalan menuju Allah SWT?

Pikirkan masjid yang ada di samping rumahmu. Pikirkan bahwa engkau dapat membersihkan kamar mandi masjid mes­kipun hanya sekali dalam seminggu.

Sulit? Sungguh ini adalah perjalanan menuju Allah SWT. Demi Allah, di da­lamnya terdapat pembersihan terhadap hatimu. Perkara yang dituntut sesung­guhnya bukanlah tempat yang engkau bersihkan, melainkan penyucian terha­dap dirimu.

Sulit? Cobalah yang lebih ringan di rumahmu. Ringankan pekerjaan pem­bantu yang ada di rumahmu bila engkau memiliki pembantu. Atau ringankan pe­kerjaan istrimu. Berdiri, bantu, dan to­longlahlah istrimu bersih-bersih rumah.

Masih sulit juga! Sungguh ada ma­salah besar dalam dirimu, bila sampai untuk melakukan bersih-bersih di salah satu ruangan di rumahmu saja, atau ka­mar mandi di rumahmu, atau perabot yang ada di dapur, masih terasa sukar dan berat bagimu.

Jangan sampai setan tertawa di saat menyaksikan engkau berkata, “Tidak, aku seorang suami... semua itu tidak pan­tas dilakukan seorang suami!

Hati-hati, jangan sampai engkau salah dan keliru.

“Aku adalah seorang Hamba”
Sungguh penghulu sekalian suami, Baginda Rasulullah SAW, mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau SAW menyapu halaman rumah, mengemas baju dan men­cucinya, menambal sendal, memi­kul tanah liat di atas pundaknya, dan gemar membantu pekerjaan istri-istri­nya. Ini adalah pelatihan dan pendidikan bagi jiwa.

Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya, “Sungguh aku adalah seorang ham­ba sahaya yang makan sebagai­mana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana seorang ham­ba sahaya duduk.”

Tahukah engkau apa yang menjadi latar belakang dari hadits Nabi SAW ini?

Suatu ketika, seorang wanita melihat Nabi SAW tengah duduk bersama-sama dengan beberapa hamba sahaya dan para dhu‘afa. Lalu wanita itu berkata, “Apa-apaan ini? Seorang nabi duduk se­perti duduknya seorang hamba sahaya, dan makan seperti makannya seorang budak.” Wanita ini bermaksud meng­hi­nakan kelakuan Nabi SAW seperti itu.

Maka Nabi SAW pun bersabda, “Eng­kau benar. Sungguh aku hanyalah seorang hamba sahaya. Aku makan sebagaimana seorang hamba sahaya makan, dan duduk sebagaimana se­orang budak duduk.” Makna sesung­guh­nya dari ungkapan beliau SAW, “Aku adalah hamba Allah SWT.”

Pada suatu hari seorang budak pe­rem­puan datang menemui Nabi SAW di saat beliau tengah sibuk dengan urusan umat. Urusan yang sangat pen­ting.

Budak itu memiliki hajat yang hendak ia adukan kepada Nabi SAW. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Ra­sulullah, ada hal yang ingin aku sam­pai­kan kepadamu.”

Nabi SAW berkata, “Silakan.”

“Tidak, ya Rasulullah, aku hanya ingin berbicara denganmu seorang diri.”

“Baiklah, silakan engkau tunjuk di an­tara jalan-jalan di Madinah ini, biar aku mendatangimu di sana.”

Budak perempuan itu menunjuk tem­pat yang diinginkannya, dan Nabi SAW pun segera menuju tempat yang diingin­kan oleh perempuan terse­but.

Nabi SAW menyimak dengan sek­sama apa yang diadukan oleh budak perempuan hingga terpenuhi semua yang diharapkannya, barulah setelah itu Beliau kembali ke tengah-tengah para sa­habat yang tengah menunggu.

Perhatikan, demikianlah Nabimu, Suri Teladanmu, Nabi Muhammad SAW.

Bukan terhadap Dzatnya
Suatu ketika datang seekor kucing ke kamar Nabi SAW. Kucing itu meman­dang ke arah wadah air di sisi Rasulullah.

Menyaksikan itu beliau tahu bahwa kucing tersebut haus dan beliau pun me­miringkan wadah itu agar si kucing dapat memimum airnya. Setelah kucing itu puas, Nabi SAW pun bergantian mimum dari wadah itu.

Ketika Sayyidah Aisyah RA menyak­sikan hal itu, Nabi SAW berkata kepada­nya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya ku­cing ini adalah dari hamba-hamba yang thawaf (berkeliling). Ia thawaf kepada kita, datang dan pergi, dan bukanlah ia termasuk binatang yang najis.”

Jijiklah terhadap sesuatu yang di­hu­kumi najis oleh syari’at. Tetapi hen­dak­lah kita jijik terhadap kenajisannya, bu­kan terhadap dzatnya. Bahkan sam­pai terhadap anjing sekalipun yang di­hukumi najis. Meskipun para ulama meng­hu­kumi anjing dengan najis mughallazhah (najis berat), tidak dibolehkan bagi kita untuk menghinakan anjing.

Bila engkau melihat anjing dengan pandangan kehinaan, siapakah yang sesungguhnya engkau hinakan? Rupa ciptaan anjingkah yang engkau hinakan, atau Penciptanya?

Demikianlah senantiasa keadaan seorang peniti jalan menuju Allah SWT. Masalah yang dihadapi senantiasa te­rasa sukar dan berat. Karenanya, lawan terus nafsumu. Ini adalah maqam muja­hadah (kesungguhan dan perjuangan melawan nafsu).

Ini merupakan lapangan penyucian hati. Yakni dengan melakukan semua pekerjaan itu, dari yang paling mudah meningkat kepada yang paling sukar dan berat. Setelah itu niscaya hatimu bersih tercuci. Dirimu telah keluar dari titik ke­lemahan yang ada dalam dirimu menuju kekuatan penyandaran kepada Allah SWT. Jangan me­nyerah di hadap­an kelemahan diri dalam masalah taka­bur, sombong, me­rasa lebih baik dari yang lainnya. Lawanlah, dan ­latihlah dia.

Perhatikan baik-baik! Dalam muja­hadahmu terhadap nafsumu dalam me­ngeluarkan kegelapan takabur sesung­guhnya terdapat penyucian lain bagi hati­mu dari titik kelemahan yang lainnya, selain takabur itu sendiri.

Orang yang takabur memandang bah­wa dirinya lebih baik dan lebih mulia dari orang lain. Dalam hidupnya ia selalu membanding-bandingkan dirinya de­ngan orang lain. “Aku lebih baik dari si Fulan....”

Diri yang Tergadaikan
Hidupnya menjadi sibuk. Sibuk de­ngan apa? Sibuk dengan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Dan kesibukannya dengan orang lain itu, meskipun bentuknya adalah takabur dan pandangan ketinggian terhadap diri sen­diri di atas orang lain, sesungguhnya itu hakikatnya adalah kelemahan dan ke­tundukan terhadap orang lain.

Tahukah engkau mengapa demiki­an? Karena sesunguhnya dirinya terga­daikan kepada orang lain. Bila mereka menghormati dirinya, memuliakannya, dan memberinya kedudukan yang di­inginkannya, ia merasa lapang dan se­nang karenanya. Jika ia masuk ke satu majelis, orang-orang berdiri menghor­matinya. Jika ia meminta sesuatu, se­gera orang memenuhi tuntutannya. Dan bila ia berbicara, orang lain pun dengan seksama mendengarkannya. Ia menjadi individu yang teramat butuh dan tergan­tung kepada manusia. Itulah sebabnya, bila ia masuk ke suatu tempat dan orang tidak menghormatinya dengan penghor­matan yang ia kehendaki, ia pun akan marah. Ia marah sebesar orang lain tidak menghormatinya.

“Mereka tidak menghormatiku! Aku tidak akan membiarkan hal itu.” Karena engkau merasa bahwa mereka telah menghinakanmu.

Bila keadaanmu demikian adanya, sesungguhnya engkau tengah membiar­kan orang lain merendahkan dan meng­hinakanmu.

Engkau tahu kenapa?
Karena engkau menjadikan nilai dan kemuliaanmu tergantung dan terikat pada sikap dan tingkah laku manusia. Engkau menghinakan dirimu sendiri. Bila saja engkau menjadikan kemuliaan dan kehormatanmu pada keadaan dan ke­teguhanmu kepada Allah SWT, bukan dengan perlakuan manusia terhadapmu, sungguh engkau telah memelihara diri­mu. Akan tetapi engkau justru rela de­ngan kesombonganmu, perasaan tinggi­mu, dan keinginanmu mencari kemulia­an dan kedudukan di antara manusia.

Engkau rela membiarkan dirimu ber­ada di tangan manusia. Bila mereka menghormati dan memuliakanmu, eng­kau bahagia karenanya. Tapi bila me­reka tidak menoleh kepadamu dan tidak memuliakanmu, engkau pun marah dan gusar. Sehingga keadaanmu menjadi keadaan seseorang yang teramat perlu dikasihani oleh orang lain. Siapa pun orangnya itu, konglomerat, raja, hakim,  menteri, ulama, reformis, akademisi, guru, siapa pun itu, yang menjadikan ni­lai­nya, kebahagiaannya, ridhanya, ke­tenteramannya, dan kesenangannya, ter­gantung pada apa yang diberikan dan dipersembahkan oleh manusia lain ke­padanya, ia telah menghinakan dirinya dengan keadaan seperti itu, keadaan yang perlu belas kasihan orang lain.

Perhatikanlah, di atas masalah yang telah kita bahas pada pelajaran yang lalu ini, yakni penyakit takabur, terdapat pula masalah yang kedua, yakni penyakit riya’ dan sum‘ah, yang akan kita bahas pada edisi berikutnya.
Previous
Next Post »