Takabbur

Pada pelajaran kesembilan ini, kita akan membahas perihal takabbur, dari guru dan panutan kita, Habib Ali Al-Jufri.

Segala puji bagi Allah, pujian hamba yang teramat membutuhkan limpahan karunia dan kebajikan-Nya, kemu­rah­an dan pemberian-Nya. Semoga sha­lawat, salam, dan keberkahan senan­tiasa Allah curahkan dan limpahkan ke­pada pemimpin segenap pribadi yang ter­amat berharap terhadap rahmat Tu­hannya, pribadi-pribadi yang penuh ke­gundahan, penuh ketundukan, dan pe­nuh pengharapan terhadap rahmat Tu­hannya, penghulu kami, Nabi Muham­mad SAW, atas keluarganya, dan se­luruh sahabatnya serta orang-orang yang meniti jalannya hingga hari Kiamat.

Wahai saudaraku, semoga saja eng­kau telah berdialog dengan hatimu se­telah mengikuti pelajaran yang telah lalu. Dan engkau telah pula menggunakan tim­bangan muraqabah (penglihatan dan pandangan) Allah SWT terhadap semua makhluk-Nya dalam menyikapi berbagai lintasan yang datang ke dalam hatimu, dengan cara yang tepat dan benar.

Setelah pelajaran yang lalu hingga pelajaran kali ini, sudah dapatkah eng­kau membedakan lintasan-lintasan baik dan lintasan-lintasan buruk yang datang ke dalam hatimu?

Ada sesuatu yang cukup membaha­giakan hati bahwa, selepas shalat Isya tadi, dalam perjalanan ke majelis ini, se­seorang bertanya kepada saya, “Saya shalat dua rakaat. Kemudian datang lin­tasan dalam hati saya untuk menyegera­kan dan me­nyingkat dua rakaat saya agar segera niat untuk shalat lagi empat rakaat supaya lebih utama dan lebih besar lagi pahalanya.

Dari manakah lintasan semacam ini berasal, dan termasuk lintasan baik atau lintasan buruk?”

Sungguh saya gembira bahwa sete­lah keluar dari majelis ini banyak jama’ah yang langsung menerapkannya dalam kesehariannya.

Saya katakan kepadanya, “Bila eng­kau dalam shalat, yang dituntut dalam shalat adalah hadirnya hati mengingat Allah SWT, dan engkau sudah memiliki te­kad untuk itu. Ketika hendak melaku­kan shalat dua rakaat, engkau sudah ber­niat. Sekarang coba perhatikan, ba­gaimana keadaanmu dalam dua rakaat itu. Setiap lintasan yang datang ke dalam hatimu untuk memalingkanmu dari hadir bersama Allah SWT dalam dua rakaat itu, tidaklah diragukan bahwa lintasan itu termasuk lintasan buruk. Pada awalnya lintasan itu datang untuk memperbanyak rakaat, tapi bisa saja lintasan itu datang dengan bentuk ajakan yang lain. Misal­nya, mengajakmu untuk mempercepat dua rakaat itu agar segera memper­banyak sedekah. Dari mana lintasan se­macam itu datang? Lintasan itu berasal dari setan.

Mengapa? Karena, misi utama setan adalah bagaimana memalingkanmu dari hadir mengingat Allah SWT dalam shalatmu.

Itulah sebabnya, bila seseorang hen­dak masuk ke tengah medan ibadah ke­pa­da Allah, hendaklah ia menetapkan hal-nya (keadaan hatinya) dalam ibadah itu.

Ambillah Sekadarnya
Pada pelajaran kali ini, kita akan membahas bagaimana hadir bersama Allah dalam ibadah.

Setelah berlalu empat pelajaran, men­jelaskan ihwal jalan-jalan masuk setan ke dalam hati, selanjutnya kita masuk ke dalam pelajaran tentang hati.

Engkau telah menetapkan satu tim­bangan yang engkau gunakan untuk mengukur segala sesuatu yang masuk ke dalam hatimu. Pandanganmu, pen­dengaranmu, lisanmu, dan segala apa yang masuk ke dalam ronggamu, telah engkau perhatikan. Segala bentuk lin­tasan sudah dapat engkau kenali. Lin­tasan yang baik dan lintasan yang buruk telah dapat engkau bedakan. Nafsumu sudah mulai engkau latih, bagaimana berinteraksi dengan berbagai macam lintasan yang datang. Dan engkau pun sudah dapat mengenali dengan baik tujuh jalan masuk setan dan telah kau sandarkan dirimu kepada Allah untuk dapat menutupnya.

Setelah jendela-jendela hati ditutup, sejak engkau gunakan penyaring se­hing­ga dapat melindungi jendela-jendela itu dari segala kotoran yang dapat masuk, selanjutnya tinggallah hati itu sendiri.

Bagaimana dengan hati itu sendiri? Setelah jendela-jendala hati tempat masuknya segala keburukan kita tutup, apakah masih terdapat suatu keburukan di dalam hati?

Hal inilah yang akan menjadi pem­bahasan kita pada pelajaran kali ini.

Ketahuilah, bila tempat-tempat ma­suk­nya keburukan ke dalam hati telah ditutup, seyogianya engkau bersegera untuk mulai menyucikan hati, member­sihkannya, dan mensucikannya dari se­gala sesuatu yang telah menempel pada­nya. Yakni dari keburukan-keburuk­an yang telah menempel pada hati se­lama itu, sepanjang hari-hari yang telah berlalu.

Sebelum engkau menjaga matamu, telingamu, dan lisanmu, sebelum eng­kau mengenali dan menyaring berbagai lintasan, segala sesuatu begitu bebas­nya masuk ke dalam hatimu. Dari segala sesuatu yang masuk itu, sebagiannya kemudian menempel dan tetap berada di dalam hati.

Hati, pada awal penciptaannya tercipta dalam keadaan suci bersih. Allah SWT menciptakan manusia dalam se­baik-baik rupa. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” — QS At-Tin (95): 4-5.

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kemudian kedua orang­tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Itulah sebabnya, asal manusia ada­lah suci dan bersih. Tidaklah benar ke­yakinan bahwa asal manusia adalah kesalahan. Sama sekali tidak benar.

Sesungguhnya kemurahan Allah SWT menghendaki bahwa asal manusia adalah kesucian, akan tetapi kelalaian dalam menjaga hati menjadikannya kotor dan ternodai.

Bukankah kain yang putih bersih, bila debu beterbangan ke arahnya, teramat cepat debu-debu itu menempel pada­nya. Dan butuh kesungguhan untuk da­pat kembali menjadikannya bersih.

Demikian pula dengan hati. Sesung­guhnya hati itu putih dan bersih. Jika noda-noda keburukan itu masuk ke da­lam hati, kotoran itu akan mudah me­nempel pada hati. Sehingga butuh dicuci dan dibersihkan. Butuh diobati.

Karena itulah, bila jendela-jendela hati itu sudah engkau tutup dari masuk­nya kotoran dan noda-noda ke dalam hati, bersegeralah melangkah untuk membersihkannya. Sucikan hatimu dari condong kepada mencintai kesenangan-kesenangan duniawi. Katakan kepada hatimu, “Tidaklah mengapa mengambil yang halal dari kesenangan-kesenangan duniawi. Apa yang dapat kita peroleh darinya, ambillah sekadar apa yang Allah mudahkan bagi kita dan yang Allah halalkan bagi kita untuk memper­oleh­nya.”

Hati dan Dunia
Hati tidaklah diciptakan untuk berse­nang-senang dengan kenikmatan dunia.

Benar, makanan dan minuman dapat dinikmati oleh mulut, pemandangan yang indah dapat pula dinikmati oleh matamu, demikian pula segala sesuatu yang dibolehkan untuk dinikmati oleh nafsumu dan semua anggota tubuh yang berkaitan dengannya berdasarkan ben­tuk-bentuk kenikmatannya masing-ma­sing. Akan tetapi, tidaklah patut bagi hati untuk memiliki ketergantungan terhadap kesenangan-kesenangan dunia itu. Se­sungguhnya cinta terhadap dunia adalah pangkal dari setiap kesalahan.

Karenanya, tampillah terhadap hati­mu untuk mengobati masalah ini, yakni hubbud dunya (cinta dunia).
Previous
Next Post »