Timbangan Lintasan Hati

Telah berlaku sunatullah bahwa seseorang yang bersungguh-sungguh dalam menghindari yang makruh akan dimuliakan dengan terpelihara dari yang haram. Namun bagi siapa yang menggampangkan perkara yang makruh, niscaya ia akan terjatuh kepada yang haram pada suatu hari, karena sesungguhnya perkara yang makruh itu ibarat pagar yang melingkari dari perkara-perkara yang haram.

Pada pelajaran yang telah lalu, kita berbicara tentang memelihara hati dari segala sesuatu yang dapat meru­sak bening dan sucinya hati serta se­mangatnya dalam mendaki maqam-maqam yang tinggi di sisi Allah SWT. Pada majelis yang lalu, kita sudah se­pakat untuk menjaga pandangan, pen­dengaran, dan lisan kita dari segala per­kara yang menjadikan hati menjadi gelap karenanya. Selain itu, kita pun sudah mem­bicarakan ihwal jendela-jendela maknawiyah, di samping jendela-jendela lahir, yang datang menghampiri, yang de­ngan sebab jendela-jendela itu hati akan semakin tinggi derajatnya, atau semakin rendah, wal-‘iyadzu billah.

Selanjutnya, sebelum kita berbicara tentang timbangan yang dijadikan untuk membedakan antara kebaikan dan ke­burukan dan kemudian membedakan an­tara sumber-sumber lintasan kebaik­an dan sumber-sumber lintasan kebu­ruk­an atau keburukan yang datang da­lam rupa kebaikan, aku ingin ber­tanya, apakah engkau sudah menjaga matamu dari pandangan-pandangan yang diha­ram­kan oleh Allah? Apakah engkau te­lah men­jaga telingamu dari menjadi tem­pat pem­buangan kotoran-kotoran pem­bi­caraan manusia, dan apakah engkau sudah menjaga lisanmu dari bertutur de­ngan sesuatu yang tidak patut? Apakah engkau sungguh-sungguh dalam men­cari yang halal dalam makanan, minum­an, pakaian, dan tempat tinggal. Sesung­guhnya ilmu ini adalah ilmu amal. Se­sungguhnya ilmu itu mengajak kepada amal bila kita menjawabnya; namun bila tidak, ia akan pergi.

Berbicara tentang arena kebaikan dan keburukan berarti maknanya eng­kau pindah dari keadaan lemah, keada­an yang tidak patut bagi seorang salik menuju Allah, yang mana hatinya men­jadi budak bagi lintasan-lintasan yang datang kepadanya, dipermainkan oleh nafsu dan setan dengan tanpa disadari­nya, kepada keadaan teguh bersandar kepada Allah, mengendalikan segala lintasan yang datang dan tidak disetir olehnya.

Setirlah lintasan-lintasan hatimu, ka­rena bila engkau telah menyetirnya ber­arti engkau telah membuat batasan se­hingga lintasan itu tidak mempermain­kanmu.

Pilihan ada pada dirimu. Apakah eng­kau ingin menjadi pengendali bagi perilakumu dan totalitas dirimu menuju Allah, atau engkau tetap tidak peduli naf­sumu dan lintasan-lintasannya memper­mainkanmu? Ini adalah kemauan.

Wahai murid, bila engkau adalah se­orang pecinta akhirat dan rindu untuk menggapainya, segala karunia yang ada di sisi Allah SWT, rindu untuk menjadi pe­milik kedudukan yang mulia di sisi Allah, hadirkanlah hatimu untuk mema­hami makna-makna yang akan diuraikan pada pelajaran kali ini.

Ketika lintasan datang ke dalam hati, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa lebih dari 70.000 lintasan datang kepada seseorang pada tiap siang dan malamnya, seluruh waktunya tidak mam­pu untuk mencegah datangnya semua lintasan itu, gunakanlah timbangan un­tuk mengetahui lintasan-lintasan itu. Apa­kah lintasan kebaikan untuk kemudi­an menyambutnya agar menjadi keingin­an dan kehendak, atau lintasan keburuk­an untuk diwaspadai dan menghindar dari­nya serta berusaha untuk mence­gahnya sehingga ia tidak menjauhkan engkau dari Allah SWT.

Syari’at
Lintasan apa pun yang datang ke­pada hatimu, letakkanlah di atas tim­bangan syari’at, apakah baik menurut pe­nilaian syari’at atau tidak.

“Apakah wajib? Aku harus memenu­hinya sebagai kewajiban.”

“Apakah sunnah? Aku harus ber­sungguh-sungguh untuk melakukan­nya.”

“Apakah mubah? Bila aku dapat meng­ikatnya dengan niat yang shalih sehingga menjadi ibadah taqarrub ke­pada Allah, aku akan berusaha melaku­kannya.”

Atau makruh, maka hindarilah. Eng­kau adalah salik menuju Allah.

Ada hal yang perlu menjadi perhati­an. Terkadang kita menempatkan per­kara sunnah dan makruh pada tempat yang tidak bernilai.

“Fulan, bagaimana pendapatmu ten­tang shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Subuh?”

“Itu kan cuma sunnah. Kalau yang fardhu, saya mengerjakannya.”

Engkau tahu bahwa ucapan “cuma sunnah” adalah ungkapan yang sangat berbahaya. Karena, ucapan itu, meski­pun tidak ditujukan untuk menghinakan sunnah Rasulullah SAW, sesungguhnya Allah SWT menjadikan perkara yang wa­jib dan sunnah tidak lain untuk mem­bantumu dalam menggapai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.

Bagi seorang salik, perkara sunnah baginya adalah sesuatu yang sangat bernilai tinggi. Seorang salik tidak akan menganggap rendah satu adab dari adab-adab Rasulullah SAW, terlebih lagi terhadap sunnah, yang datang dari Al-Mushthafa Rasulullah SAW.

Demikian halnya dengan meninggal­kan perkara makruh. Benar, makruh ti­daklah mendatangkan dosa. Akan tetapi apakah keadaanmu bersama Allah dan interaksimu dengan-Nya hanya semata ter­batas pada berdosa atau tidak ber­dosa? Atau engkau rindu untuk dapat de­kat dengan Allah, untuk menjadi pemilik kedudukan yang mulia di sisi Allah, yang senantiasa merindukan derajat-derajat kedekatan di sisi-Nya.

Wahai murid yang berharap untuk men­jadi pemilik kedudukan yang mulia di sisi Allah, jauhilah yang makruh, pergi dan larilah darinya, hindarilah ia, terlebih lagi terhadap yang haram.

Telah berlaku sunatullah bahwa sese­orang yang bersungguh-sungguh dalam menghindari yang makruh akan dimulia­kan dengan terpelihara dari yang haram. Namun bagi siapa yang menggampang­kan perkara yang makruh, niscaya ia akan terjatuh kepada yang haram pada suatu hari, karena sesungguhnya perkara yang makruh itu ibarat pagar yang me­lingkari dari perkara-perkara yang haram.

Satu kaidah mengatakan, tidak mung­kin seseorang akan terjatuh kepada yang haram kecuali setelah ia terjatuh ke dalam yang makruh. Setiap hamba yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam berjalan menuju Allah, tidak mungkin setan atau nafsunya dapat memperdayakannya se­hingga terjatuh kepada yang haram ke­cuali setelah ia jatuh kepada yang makruh dan meremehkan untuk jatuh ke dalam yang makruh itu. Akan tetapi bila ia ber­hati-hati dan menghindar dari yang mak­ruh, lebih utama lagi Allah akan memeli­haranya dari yang haram.

Satu lintasan terbetik dalam hatimu. Syari’ah berkata kepadamu, “Ini wajib, itu sunnah, ini mubah, engkau dapat meng­hubungkan yang mubah itu dengan niat yang shalih. Bila yang mubah itu baik, da­tanglah dan kerjakanlah.” Atau syari’ah ber­kata kepadamu, “Ini makruh, ini ha­ram, atau ini mubah yang berlebihan, se­perti kelebihan harta yang tidak mende­katkan kepada Allah sama sekali, maka hindari dan berpalinglah darinya.” Adapun yang haram, sudah barang tentu mutlak keburukannya. Yang makruh adalah yang tidak baik dari yang mubah. Se­dang­kan yang berlebihan dari yang mu­bah akan sangat mungkin menjerumus­kan kepada keburukan bila tidak disertai dengan niat yang shalih.

Syari’at adalah timbangan pertama untuk membedakan lintasan yang baik dan yang buruk.

Mungkin timbul pertanyaan, kita me­miliki timbangan syari’ah, lalu mengapa perlu timbangan-timbangan yang lain? Kita perlu  timbangan-timbangan yang lain karena terkadang seseorang kesulit­an untuk memahami timbangan syari’ah.

Perilaku Salafush Shalih
Bila datang satu lintasan dalam hati, lihatlah apakah perkara itu dipandang baik oleh para salafuss shalih atau se­baliknya.

Makna dari ini semua, seorang salik harus memiliki perhatian untuk mema­hami, membaca, dan menelusuri sejarah perjalanan hidup para shalihin, seperti da­pat engkau temukan dalam kitab Shaf­wah ash-Shafwah, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Al-Jauzi, atau kitab-kitab thaba­qat (kumpulan para tokoh), yang memuat perjalanan hidup mereka. Bila telah mem­baca kitab-kitab tersebut dan mendapat­kan sejarah hidup para shalihin dan peri­laku mereka, niscaya engkau akan men­dapatkan kemampuan dalam menyikapi berbagai lintasan yang datang dalam hati­mu dengan apa yang dianggap baik atau buruk oleh para salafush shalih.

Namun, tentu tidak setiap orang dapat memahami timbangan ini dengan mudah, bahkan mungkin lebih sulit bagi sese­orang untuk memahaminya dibandingkan dengan timbanga syari’at. Akan tetapi catatlah timbangan ini baik-baik dalam benak dan pikiranmu.

Diri Sendiri
Bila diri kita langsung condong ke­pada satu lintasan yang datang, bukan karena ada pengaruh tertentu, misalnya karena dengan sebab nasihat atau bim­bingan syari’at, lintasan semacam itu umumnya adalah lintasan yang buruk. Dan sebaliknya, bila diri kita merasa berat untuk condong kepada lintasan yang da­tang dan beratnya itu bukan dengan se­bab tertentu pula, misalnya karena men­dengar seorang ulama yang mengan­jur­kan untuk meninggalkan perbuatan ter­sebut, melainkan enggan dengan sendiri­nya, lintasan semacam itu umumnya ada­lah lintasan kebaikan, yang mana nafsu tidak condong kepadanya.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, yang mengisahkan ucapan istri Al-Aziz, “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesung­guhnya nafsu itu selalu cenderung ke­pada kejahatan...” — QS Yusuf (12): 53.

Ayat ini menunjukkan bahwa nafsu pada asalnya tidaklah serta merta dapat meningkat kepada derajat nafsu muth­mainnah (jiwa yang tenang yang condong kepada kebaikan), karena nafsu pada umumnya lebih condong kepada kejahat­an. Karenanya barang siapa menyalahi keinginan nafsunya dalam menghadapi lintasan-lintasan yang datang kepadanya, berarti ia mengikuti jalan kebaikan.

Bila datang kepadamu lintasan yang belum jelas menurut timbangan syari’at­nya dalam pandanganmu dan tidak pula menurut timbangan perilaku salafush shalih yang engkau ketahui, timbanglah dengan timbangan dirimu sendiri. Bila engkau mendapatkan nafsumu langsung condong kepadanya, tinggalkanlah, ka­rena itu adalah keburukan. Akan tetapi bila engkau dapatkan nafsumu enggan dan merasa berat kepadanya, lintasan itu adalah kebaikan, maka segeralah ikuti lintasan semacam itu.
Previous
Next Post »