Al-Ba‘its

Apabila hari demi hari, siang dan malam, berlalu, sedangkan di hati kita tidak ada Al-Baits, tidak tumbuh di dalam hati kita makna rindu dan harapan untuk sampai kepada Allah, bila kematian datang menjemput, hilang sia-sialah seluruh umur kita.

Segala puji bagi Allah, Yang telah menanamkan tekad yang kuat di dalam hati untuk menghadap-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa ter­curah­kan atas seseorang yang menun­jukkan kepada Allah dengan petunjuk yang sem­purna, atas keluarganya, para sahabat­nya, dan siapa pun yang ber­jalan di atas jalannya hingga hari Kiamat.

Pada pelajaran sebelumnya, kita telah membicarakan makna kehendak. Orang yang menghendaki akhirat dan orang yang menghendaki dunia, orang yang menghendaki Allah dan orang yang menghendaki hawa nafsunya. Pembica­raan tentang dunia, yang tercela. Penje­lasan bahwa problem dan masalahnya tidaklah terletak pada makan ataupun mi­num, bukan pada pakaian atau ma­kanan, kendaraan ataupun rumah tinggal, me­lainkan pada niat seseorang dan keter­gantungan hatinya.

Sehingga setiap kali menghendaki sesuatu, adakalanya ia menjadi seorang budak yang tunduk, berusaha, berlari, dan mengayunkan langkah untuk hawa nafsunya, bagaimanapun yang dikehen­dakinya, atau ia tetap memberikan kese­nangan kepada nafsunya tapi dengan jalan yang membawa nafsunya kembali kepada Allah, sehingga dengan sebab itu akan membuatnya bersenang-se­nang dengan kenikmatan yang abadi di dunia dan akhirat.

Selanjutnya, tentulah seseorang yang menghendaki wushul (sampai) kepada Allah membutuhkan sesuatu yang di­nama­kan Al-Ba‘its (faktor pen­dorong atau motivator), yang akan kita bahas pada pelajaran kali ini.

Al-Ba‘its diambil dari kata inbi‘ats, yakni dorongan yang menggerakkan tekad yang kuat dalam hati seorang mukmin untuk berjalan menuju Allah SWT. Apakah yang menyebabkan seseorang menjadi taat dan yang lainnya teledor? Apakah yang mendorong sese­orang bangkit dari tidur dan istirahatnya ketika mendengar seorang memanggil “Ashshalatu khairun minan nawm (Sha­lat itu lebih baik daripada tidur)” untuk me­nyambut seruannya? Apa yang mem­buatnya melakukan itu?

Apa yang membuat seseorang da­lam sekejap tergiur dengan segenggam harta dengan tiada peduli benar atau sa­lah? Atau ia berkata, “Tidak, ini syub­hat!”, “Ini menzhalimi orang lain!”, “Ini memakan hak orang lain dengan jalan tidak benar!”. Sehingga dengan ungkap­an-ungkapan semacam itu ia mencegah diri meskipun nafsunya mengingin­kan­nya.

Apa yang menjadi faktor pendorong dan motivasi yang membuatnya mening­galkan semua itu? Apa yang mendorong seseorang berpikir, pada siang dan ma­lam, bagaimana bertaqarub kepada Allah? Apa yang membangkitkan tekad seseorang untuk menjadikan hidupnya semata-mata untuk mencari ridha Allah, menginginkan kedekatan dengan Allah?

Dorongan yang timbul dalam hati seseorang menjadikannya bangkit dan melahirkan makna-makna kesungguhan inilah yang menyeru seseorang untuk mampu menghadapi, mengarahkan, dan menentang hawa nafsunya.

Apa yang menyebabkan seseorang bertahan ketika menghadapi bulan ketaatan, ibadah bulan Ramadhan, atau pada musim haji?

Apabila Ramadhan tiba, mari kita perhatikan bahwa, pada malam-malam per­tama, kaum muslimin memenuhi mas­jid-masjid, kemudian setelah berlalu lima, enam, atau tujuh hari, mereka pun mulai sedikit lemah dan jumlah shaf pun makin berkurang. Tapi bila datang waktu-waktu yang dianjurkan pada se­puluh hari terakhir, mereka kembali men­jalankan ibadah dengan kesungguhan yang sagat besar. Apakah yang menjadi­kan seseorang bertahan dalam perjalan­annya menuju Allah? Inilah yang disebut al-ba‘its.

Para ulama mengatakan, al-ba‘its adalah tentara dari tentara-tentara Allah yang bathin, atau sesuatu yang Allah tanamkan di dalam hati seseorang. Ber­kilat menyala di dalam hati seseorang sehingga ia bangkit dengan satu kesung­guhan.

Terkadang kita menyaksikan sese­orang melewati waktu-waktunya, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, da­lam kelalaian. Bila dikatakan kepada­nya “Wahai Fulan, shalatlah”, ia men­jawab, “Nantilah!”

Namun tiba-tiba, orang yang tidak per­nah mengerjakan shalat, yang me­makan barang haram, dan bergaul de­ngan manusia secara keji, itu bangkit, mem­bersihkan diri, lalu bertaubat, pergi ke masjid, dan akhlaqnya menjadi terpuji terhadap sesama manusia. Kita pun berkata, “Allah memberi hidayah kepada Fulan.”

Apa sebenarnya hakikat kisah hida­yah ini? Kebaikan yang terjadi secara tiba-tiba. Kesungguhan untuk datang kepada Allah adalah sesuatu yang Allah tanamkan dalam hati seseorang yang dinamakan al-baits.

Undangan Tuhan
Al-baits adalah seumpama undang­an untuk hadir pada satu acara. Maha­tinggi Allah dari segala perumpamaan.

Apa yang membuat Fulan dan Fulan menghadiri suatu acara dari berbagai ma­cam acara? Karena ia dikirimi un­dangan yang berisikan “Dengan segala hormat, dimohon kehadirannya dalam acara pernikahan, selamatan rumah baru, atau peringatan ini dan itu”. Maka, dengan adanya undangan itu muncullah kesungguhan untuk memenuhinya.

Perjalanan menuju Allah, kehendak untuk dekat kepada Allah, awalnya ada­lah undangan yang berasal dari Tuhan semesta alam, undangan Allah kepada sang hamba untuk datang kepada-Nya.

Apabila undangan itu (al-baits) datangnya dari Allah SWT, lalu mengapa kita membicarakan bagaimana menda­patkan al-baits? Jawabnya, karena Allah SWT menciptakan sebab-sebab bagi lahirnya al-baits dalam hati seseorang. Para ulama murabbi rabbani, guru-guru spiritual, berkata, “Al-baits untuk datang kepada Allah SWT lahir dan tumbuh da­lam hati seseorang adakalanya karena kondisi targhib (senang), kondisi tarhib (takut), dan adakalanya karena kondisi tayswiq (rindu), atau pula muncul dengan sebab lain berkaitan dengan pengaruh seseorang terhadap orang lain, yakni bergaul dengan orang-orang shalih, atau pula dengan tanpa adanya sebab.”

Mari kita membicarakannya satu demi satu.
Kita membutuhkan al-ba‘its, membu­tuhkan kesungguhan, yang akan mem­bawa kita untuk dapat berjalan menuju Allah SWT. Kita tidak hanya melakukan shalat untuk hanya dua atau tiga hari lalu kita bosan dan kita meninggalkannya. Kita tidak meniti jalan dan melakukan mujahadah hanya dalam dua minggu atau dua bulan kemudian  semangat itu pun padam. Terkadang seseorang ber­usaha mendapatkan semangat untuk da­pat bangun malam dan melakukan shalat Tahajjud namun ia tidak menemu­kannya. Kesungguhan tidak ada dalam dirinya. Di saat semacam itu, ke mana al-ba‘its itu pergi?

Terkadang al-ba‘its datang tanpa adanya sebab yang tampak. Seseorang boleh jadi berada dalam puncak kelalai­an. Ia tidak melakukan sesuatu pun dari sebab-sebab yang dapat mendatangkan al-ba‘its dalam dirinya. Ia tidak berusaha, tidak mengetuk pintu, dan tidak pula mengharapkan dapat menghadirkan makna kerinduan untuk datang kepada Allah. Lalu Allah memandang kepada­nya, menumbuhkan semangat dalam hati­nya, sehingga kemudian ia pun da­tang kepada-Nya. Ini dapat terjadi ketika seseorang itu menghadap kepada Allah dalam sekejap di saat Allah memandang kepadanya, sehingga bangkitlah al-baits itu dalam hatinya.

Lalu, mungkinkah kita memejamkan mata dari segala sebab sampai Allah memberikan hidayah kepada kita?

“Fulan, mengapa engkau tidak shalat?”

“Insya Allah, bila Allah memberikan hidayah kepadaku baru aku shalat.”

“Lalu mengapa engkau bekerja, ber­dagang?”

“Untuk mendapatkan rizqi!”

“Bukankah Yang Maha Memberi Petunjuk, Dia pula Yang Maha Memberi rizqi? Sehingga bukankah sangat mung­kin di saat kita mengatakan ‘Allah mem­beriku rizqi, maka akan datang harta’? Lalu mengapa harus keluar rumah dan men­cari sebab untuk mendapatkan rizqi? Mengapa harus pergi ke sekolah untuk mendapatkan ijazah, kemudian setelah itu bekerja...? Mengapa begitu bersungguh-sungguh dalam mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku? Itu semua adalah sebab-sebab untuk men­dapatkan rizqi.

Allah memang Maha Pemberi rizqi, akan tetapi Dia memerintahkan kepada kita untuk mengusahakan sebab-sebab­nya. Penuhilah kewajibannya, baru ke­mudian bertawakkal.

Maka demikian pula halnya dengan hidayah. Hidayah pun memiliki sebab-sebabnya.”

Orang yang mengatakan bahwa Yang Maha Pemberi rizqi adalah Allah namun ia tidak mengusahakan sebab-sebabnya, apakah yang dikatakan orang terhadapnya? Pastilah ia dijuluki si pe­malas, yang tidak produktif, si tukang lalai, si dungu, dan sebagainya.

Bila orang yang tidak bekerja men­cari rizqi karena bergantung kepada orang lain dan bukan karena tawakkal dijuluki semacam itu, orang yang tidak berbuat apa pun untuk mendapatkan hidayah disebut apakah?

“Wahai Fulan, mengapa engkau ti­dak datang memenuhi panggilan Allah?”

“Allah tidak memberiku hidayah.”

“Wahai Fulan, pergilah menunaikan haji ke Baitullah?”

“Allah tidak memberiku hidayah.”

“Wahai Fulan, belumkah datang waktumu untuk bertaubat, meninggalkan yang haram: menipu, mencuri?”

“Belum, insya Allah, doakan saja semoga Allah memberi hidayah kepada­ku.”

Benar, memang doa adalah salah satu sebab untuk menumbuhkan al-ba‘its, akan tetapi di sana terdapat se­bab-sebab lain yang kita butuhkan se­bagai sebab-sebab untuk mendapatkan al-baits.

Apakah Anda mengetahui mengapa demikian halnya? Jawabannya, karena permasalahannya sangatlah besar. Apabila hari demi hari, siang dan malam, berlalu, sedangkan di hati kita tidak ada al-baits, tidak tumbuh di dalam hati kita makna rindu dan harapan untuk sampai kepada Allah, bila kematian datang men­jemput, hilang sia-sialah seluruh umur kita.
Previous
Next Post »